Tulisan Ini Pernah Diterbitkan dalam Koran Kampus (UNIVERSITAS HASANUDDIN) - IDENTITAS Edisi Spesial Akhir Tahun 2014)
Bagi seorang petani, kata demokrasi maupun politik terdengar sangat asing ditelinganya. Sampai hari ini pun petani tak memahami apa itu politik secara substansial, namun dari keterangan yang mereka ucapkan mereka memahami bahwa politik itu sekedar mencoblos gambar dalam bilik suara. Sebagai golongan mayoritas dari rakyat Indonesia seharusnya petani mempunyai nilai jual terbesar dalam kalkulasi politik, namun sampai hari ini golongan petanilah yang selalu terhimpit oleh kepentingan elit-politik. Kaum tani selalu terlihat sebagai paradoks bahwa golongan petani selalu diperebutkan dalam setiap momentum politik, namun menjadi pesakitan pasca momentum politik berakhir dimana golongan petani ibarat sapi yang siap ditarik kedalam kandang kepentingan manapun dan disembelih pasca itu. Kecerdasan berdemokrasi petani sampai hari ini belum cukup untuk sampai pada kecerdasan partisipasi politik aktif dan hal itu didukung oleh partai politik yang memang bukan tumbuh untuk membudayakan pendidikan demokrasi, namun untuk membudayakan kepentingan transaksional. Pendidikan politik dan demokrasi di Negara kita hampir tidak pernah menyentuh sedikitpun golongan petani, dan para elit-politik menunggangi kebodohan itu kemudian menyanderanya kedalam kepentingan partai.
Petani merupakan agen “penyuplai” peradaban bagi bangsa Indonesia, petani menghasilkan tumpukan karbohidrat, protein, dan mineral untuk kita konsumsi dan meyakinkan bahwa aspek material peradaban bangsa pastinya tetap terpenuhi. Maka agar bangsa kita tetap lestari, sesungguhnya kedaulatan petani adalah sebuah harga mati namun politik kita sampai hari ini selalu menyempitkan lalu menutup jalan bagi kedaulatan petani kita, dimana mereka sekedar dijadikan nilai tukar-tambah dalam transfer kepentingan. Sesungguhnya kedaulatan petani mendahului segala macam ambisi politik dan pertarungan ideologi, karena itu demokrasi sebagai ruang kebebasan aktif ada untuk menjamin petani tetap hadir dan eksis menjaga tanaman kehidupan bangsa. Pendidikan politik adalah syarat mutlak untuk merawat kehidupan petani, karena kebijakan politiklah yang kemudian mereproduksi energi sosial yang menyirami tanaman kehidupan bangsa. Ruang politis dan pendidikan politik wajib dihadirkan untuk menjamin kecerdasan petani berdemokrasi sehingga tak ada lagi yang mengganggu tanaman kehidupan itu untuk tumbuh dalam tanah air kita. ini.
Petani pernah membuat narasi besar dipanggung dunia yang mengangkat harkat dan martabat bangsa kita, dimana kala itu swasembada beras mengukir kisah sejarah yang ikut menyeruak bersama dengan kisah-kisah sukses para petani kita. Laku politik negara di kala itu memang memfasilitasi petani untuk tetap menjamin terpenuhinya kebutuhan kalori bangsa, dimana petani menikmati oksigen politik yang cukup untuk membangkitkan bangsa kita dari ancaman krisis pangan. Namun hari ini laku politik justru mengancam petani kita, kebijakan negara selalu berpihak pada pemodal dan industri akibatnya secara perlahan-lahan petani tergusur dari lahannya. Atas nama modernitas ,mesin-mesin kapitalisme dan globalisasi datang dan membabat para petani beserta kearifan lokalnya dan uniknya politik justru membiarkan hal itu terjadi. Menggusur petani dari sawahnya sesungguhnya sama dengan mengusir petani dari hidupnya oleh karena itu penguasa politik harus sadar bahwa peradaban kita sedang diujung tanduk. Masa depan pertanian kita sedang sekarat, kebudayaan yang telah dibangun ribuan tahun lamanya ini mungkin sebentar lagi akan punah. Kebijakan politik terlalu merendahkan kelangsungan hidup petani disisi lain meninggikan transaksi birokrasi karena itu, petani hari ini lebih memilih untuk menjaminkan sawahnya bagi pendidikan formal anaknya daripada menjadikan anaknya seorang petani yang menjaminkan hidupnya bagi kehidupan bangsa ini.
SUMBER : (http://fajarfathan.files.wordpress.com/2011/02/former.jpg)
Demokrasi selalu bercerita tentang kesetaraan, keadilan,
kebebasan, dan ruang publik, namun hari ini politik kita tidak mengaktifkan hal
itu. Petani semestinya wajib dihadirkan dalam ruang-ruang demokratis, dan
terlibat aktif dalam partisipasi politik, disisi lain pendidikan politik dan
demokrasi wajib untuk menyokong kecerdasan petani dalam hal itu. Hanya dengan
hal itu maka sesungguhnya bangsa kita akan tetap bertahan ditengah tantangan
zaman. Hari ini jarak yang terbangun antara petani dan negara telah amat jauh,
demokrasi harus hadir disana untuk mempersempit jarak itu sehingga antara
kebijakan , ilmu pengetahuan , teknologi , dan materi dapat terus menjadi
oksigen bagi tercapainya kemakmuran petani sehingga suplai peradaban bangsa tetap
berjalan.
Politik adalah jalan untuk memproduksi kemakmuran petani, sehingga kebijakan politik harus terselenggara guna mengaktifkan kecerdasan politik bagi petani, sehingga berhala-berhala kebodohan yang selama ini disokong oleh oportunisme individual tidak mengganggu padi yang sedang ditanam. Peradaban politik kita seharusnya menjunjung tinggi petani sebagai agen kehidupan, kecemasan akan munculnya krisis pangan dan energi wajib menjadi isu utama dalam politik hari ini, karena urusan perut manusia harus terselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke fase lain. Sesungguhnya pahlawan peradaban yang seungguhnya adalah seorang petani, hanya karena merekalah manusia sampai hari ini tetap memenuhi kehidupannya dan bahwasanya hal itu melampaui segala “yang politis” pada bangsa kita. (PR)