Tuesday 9 June 2015

IMPLIKASI KESEPAKATAN KTM KE IX WTO BALI 2013 TERHADAP SEKTOR PERTANIAN INA (Muh Irvan Mahmud Asia)

 Apakah Itu WTO ? WTO berdiri sejak 1 Januari 1995 sebagai kelanjutan Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah wadah kerja sama ekonomi beranggotakan 160 negara. WTO sebagai organisasi internasional global yang mengatur perdagangan antar Negara. Fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu: (1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, (2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, (3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan, (4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan (5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Akan tetapi semua fungsi tersebut hanya dijadikan alat untuk mendikte dan memeras kekayaan sumber daya alam dinegara-negara miskin dan berkembang bukan untuk menciptakan pemerataan, kesejahteraan serta keadilan dalam peradaban umat manusia.



Protes menuntut kebijakan WTO tersebut kemudian terjadi dinegara-negara berkembang, mengantisipasi agar eskalasi tuntutan tidak meluas, sejak Doha Development Agenda 2001 diluncurkan WTO mulai berubah. Menurut negara-negara maju anggota WTO, kebijakan WTO mulai berpihak kenegara berkembang sehingga dalam perundingannya mempertimbangkan keterbatasan negara berkembang dalam melaksanakan komitmennya. Akan tetapi menurut penulis baik sebelum maupun sesudah Doha Development Agenda 2001 keberadaan WTO tetap menjadikan negara berkembang sebagai subordinat dan termarjinalkan dari sistem perdagangan multilateral yang ada. Perdagangan dunia yang tumbuh 22 kali lipat dalam kurun waktu 1950-2000, dengan ekspor barang tumbuh 6% per tahun dan untuk periode 2000-2012 perdagangan dunia tumbuh 2, 17 kali lipat (UN Comtrade 2013). Laporan world commission on the social dimension of globalization tahun 2004 melaporkan dampak negatif globalisasi di 73 negara yang disurvei, menunjukan bahwa hampir semua kawasan kecuali Asia Selatan, Uni Eropa dan Amerika Serikat jumlah pengangguran meningkat pada kurun waktu 1990-2002 dan 59% masyarkat dunia hidup dinegara dengan kesenjangan yang meningkat. Hanya 5% penduduk tinggal dinegara-negara dengan kesenjangan menurun. Penyebapnya aturan main global yang tidak adil, lebih mengedepankan nilai kebendaan, telah mencabut sebagian kedaulatan negara berkembang, banyak pihak dirugikan oleh globalisasi dan pemaksaan sistem ekonomi liberal dinegara berkembang. Dalam sektor pertanian, liberalisasi sektor pertanian memang sudah lama menjadi pertengkaran antara negara-negara maju dengan negara berkembang. 

Negara maju menghendaki penghapusan subsidi pertanian sebagai jalan memasuki pasar pangan negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, banyak negara berkembang tidak mau begitu saja menerima tuntutan negara maju. Negara-negara berkembang yang dikomandoi oleh India, juga negara-negara Amerika Latin, bersikukuh mempertahankan subsidi bagi sektor pertaniannya. Tuntutan negara berkembang itu bukan tanpa alasan. Mereka bertanggung jawab untuk memberi makan rakyatnya. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa penghapusan subsidi pertanian hanya akan membunuh sektor pertanian mereka. Maklum, sektor pertanian negara berkembang tidak akan sanggup bersaing dengan pertanian negara maju yang didukung oleh teknologi, skill/keahlian, dan modal. Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. Indonesia dalam perangkap WTO Mengutip hasil diskusi Panel Focus Grup Industri, Perdagangan dan Investasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan Kementrian Perdagangan pada tanggal 12 November 2013, pengusaha yangg diwakili ketua APINDO meminta sebaiknya KTM di Bali dibatalkan agar tidak ada komitmen baru sebab pengusaha Indonesia kewalahan dengan pembukaan pasar. Ketua Komisi VI DPR-RI sudah memperingatkan Mentri Perdagangan agar tidak membuat komitmen baru bagi Indonesia di KTM Bali. 

LSM yang diwakili Direktur Eksekutif Institute for Global Justice mengemukakan banyaknya permasalahan Indonesia dalam pasar yang kian terbuka. Untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada WTO sebagai forum utama perundingan perdagangan multilateral yang meliputi 3 elemen utama: fasilitas perdagangan, isu tertentu dari perundingan sektor pertanian, dan isu-isu pembangunan. Ketiga elemen ini masuk dalam Paket Bali. Hasil Kesepakatan KTM WTO Bali KTM WTO di Bali menyepakati untuk mengurangi hambatan perdagangan yang dapat menambah suntikan dana. WTO juga sepakat untuk mengurangi batasan ekspor dari negara miskin dan memberikan ruang yang lebih besar bagi negara berkembang untuk memberikan subsidi guna mengamankan pasokan pangannya khususnya bagi rakyat miskin. Namun pada sisi lain hasil kesepakatan KTM WTO di Bali yang disebut Paket Bali, mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama pengamat dan aktivis. Menurut penulis Paket Bali hanya menguras dan memeras serta tidak memberikan keuntungan bagi petani Indonesia. Pertanian yang menjadi isu panas di WTO, adalah penjualan hak atas pangan bagi jutaan rakyat di seluruh penjuru dunia yang menderita malnutrisi dan kelaparan. Selain itu Paket Bali tak berubah dari upaya-upaya penghisapan sumber daya alam bagi negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Kebijakan liberalisasi perdagangan selama keberadaan WTO sejak tahun 1995, telah mengancurkan sistem pangan dan suplai pangan nasional kita. Kerisauan atas kondisi petani Indonesia tentu sangat beralasan, mengingat selama ini negara-negara maju dengan segala upaya terus menggerogoti ketahananan pangan dan menjajah pertanian Indonesia. Hal itu dilakukan melalui beragam cara, melalui teknologi pertanian, pembatasan ruang gerak pertanian Indonesia dan lain sebagainya. Akibatnya, pertanian Indonesia sejak 15 tahun belakangan benar-benar mengalami kemunduran yang sangat jauh. Implikasi dari liberalisasi sektor pertanian, Indonesia terus mengimpor beras, kedelai, jagung, ubi, bawang, cabai, buah-buahan dan bahkan garam diekspor. Bahkan banyak pihak yang menyindir pemerintah dengan memperkirakan jika pemerintah Indonesia tidak menyikapi persoalan pertanian ini dengan serius, bisa jadi ke depan Indonesia juga akan mengimpor jengkol, petai dan lainnya. Selain itu, kesepakatan KTM WTO Bali 2013 adalah Kenaikan subsidi pertanian dari 10% menjadi 15% hanya berlangsung selama empat tahun, artinya tahun 2018 mendatang subsidi akan dicabut. Argumentasi sebagian elit dan ekonom pro-neoliberal di Indonesia, yang mengklaim bahwa agenda perdagangan bebas berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%, tetapi apa memberikan kontribusi bagi ekonomi nasional dan rakyat Indonesia? Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh liberalisasi investasi dan perdagangan itu justru memicu perampasan sumber daya milik rakyat oleh korporasi multinasional. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak berkontribusi dalam memperkuat struktur ekonomi nasional. Sampai sekarang anggaran kita terjerembab dalam defisit dan jerat utang (Per November 2013 utang Indonesia 2.276 Triliun). Sementara sektor pertanian dan industri kita merosot. Kita makin bergantung pada impor. Lebih jauh liberalisasi investasi dan perdagangan memicu konflik sumber daya antara korporasi besar melawan rakyat, pengrusakan lingkungan, dan korupsi. Dengan disetujuinya paket Bali, upaya untuk menghapuskan kelaparan dan kemiskinan semakin jauh dari harapan. 

Pada tahun 1995, saat WTO baru berdiri, angka kelaparan di dunia mencapai 825 juta jiwa. Namun, saat ini angka kelaparan dunia sudah mencapai 1 milyar jiwa. Sebagian besar berada di Asia termasuk Indonesia.Hak atas pangan adalah hak asasi setiap manusia di atas muka bumi ini, namun Paket Bali menghalangi realisasi hak tersebut dengan mengangkangi kedaulatan rakyat melalui perjanjian WTO, dan Pemerintah Indonesia adalah salah satu aktor utama yang memuluskan strategi kotor tersebut. Penulis juga tidak setuju mengenai “peace clause” yang diklaim pihak WTO sebagai kemajuan dalam Paket Bali. Menurut penulis, memang benar bahwa isi dalam “peace clause” membolehkan subsidi pertanian, tapi sebenarnya hal ini hanyalah kelicikan terselubung, karena intinya negosiasi ini ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan, yang akan terus meliberalisasi sektor luas di negara berkembang. Peace clause, itu pembodohan publik. Misalnya begini, kita ingin mensubsidi satu komoditas pertanian kita, hal itu harus ditukar dengan pembukaan pasar kita seluas mungkin dengan menghilangkan tarif impor. Ini adalah omong kosong karena seharusnya negara tak perlu memohon kepada WTO untuk menjamin hak atas pangan rakyatnya. Pangan dan pertanian tidak bisa diatur dalam rezim perdagangan bebas. Menurut penulis, fasilitas perdagangan bebas WTO adalah usul negara maju untuk mendorong ekspansi pasar guna menyelamatkan ekonomi mereka yangterus stagnan. Meskipun penulis tidak menampik pentingnya perdagangan dalam perekonomian global, tetapi harus berkeadilan. Data dari World Trade Report 2013, menyebutkan bahwa 80% ekspor AS dikuasai oleh 1 perusahaan besar, 85% ekspor Eropa ada di tangan 10 eksportir besar dan 81% ekspor terkonsentrasi pada 5 perusahaan ekspor di negara berkembang. Subsidi Terus Berkurang Secara substantif, pertemuan WTO kali ini bertujuan menyelesaikan sebagian isu kunci dalam Putaran Doha, masing-masing: Trade Facilitation, LDCs package, dan Agriculture. Ketiga isu tersebut selanjutnya disebut Paket Bali. Dalam perkembangannya, Paket Bali tidak memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Sebab melalui ketiganya, arus barang dan jasa dari negara maju akan lebih mudah masuk ke negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk ke Indonesia. Bahkan negara berkembang terancam kehilangan kesempatan meningkatkan produksi pangan domestiknya setelah negara maju menolak proposal pemberian subsidi bagi kepentingan Public Stockholding dan Food Security yang diusulkan oleh negara Kelompok 33, termasuk Indonesia. Jauh sebelumnya, berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) cenderung mengalami penurunan. Seperti yang terlihat pada penurunan alokasi subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru alokasinya ikut mengalami penurunan dari 5,3% menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun 2010 sebesar 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu. Hal ini sangat berkorelasi dengan agenda WTO yang melakukan penghapusan terhadap subsidi domestik. Pemerintah telah melakukan beberapa pengurangan subsidi, bahkan menghapus beberapa subsidi untuk rakyat sejak tahun 2008. Hal ini mengakibatkan impor bahan baku seperti kedelai, beras, dan lain-lain semakin merajalela hingga menyebabkan rapuhnya perekonomian nasional kita. Non Energi, 2005-2013Berbeda dengan Indonesia, negara-negara maju justru terus memperbesar subsidi di sektor pertaniannya. Sebagai ilustrasi, di 2010 saja, subsidi pertanian di Amerika Serikat mencapai US$ 130 miliar. Begitupun di Uni Eropa, yang memberikan subsidi mencapai US$ 106 miliar di 2009. Sedangkan India, subsidi pertaniannya hanya Rp212 triliun per tahun. Indonesia cuma Rp.143 triliun per tahun. Begitulah Negara-negara maju menghancurkan pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, melalui berbagai organisasi dunia. Pengurangan subsidi domestik sejalan dengan berlangsungnya kebijakan harmonisasi tarif, berupa penurunan tarif bea masuk Most Favoured Nation (MFN) yang sejalan dengan prinsip WTO untuk memudahkan arus impor barang dan jasa ke Indonesia. Kebijakan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2005-2010 telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010. Akibatnya, Selama periode 2005–2010 perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN semakin menurun, dari 9,9 persen tahun 2005 menjadi 7,5 persen pada tahun 2010. Dampak kebijakan ini secara jelas terlihat dari menurunnya potensi penerimaan pajak bea masuk perdagangan internasional dalam anggaran negara. 

Kebijakan pertanian versi WTO itu membawa malapetaka bagi pertanian Indonesia. Pertama, produksi pangan nasional terus merosot. Bentuk usaha tani tidak lagi sanggup mensejahterakan petani. Akibatnya, banyak petani yang meninggalkan pekerjaannya. Yang paling ironis, 60% penerima program raskin di seluruh Indonesia adalah petani. Kedua, Indonesia semakin bergantung pada impor. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia didapatkan melalui impor: impor impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen). Indonesia sebetulnya adalah korban paling mengerikan dari agenda WTO. Namun ironisnya, tidak seperti India dan negara-negara Amerika Latin, Indonesia justru seolah-olah tidak sadar sebagai korban. Malahan, dalam konteks pertemuan puncak WTO di Bali, pemerintah Indonesia justru ingin tampil seolah-olah sebagai penyambung lidah negara-negara maju untuk memaksakan kesepakatan antar negara-negara anggota WTO. Hal itu terlihat ketika India bersikeras menaikan subsidi sektor pertanian dari 10% menjadi 15% , Indonesia tidak berani berpihak kepada India. Artinya, Indonesia berupaya keras menyukseskan agenda WTO, dibawa kendali Amerika Serikat dan sekutunya yang sebetulnya sudah mandek sejak kegagalan Putaran Doha tahun 2001 lalu dan Putaran Jenewa, Swiss Bulan November tahun 2011. Inilah yang sebetulnya sangat ironis. Di saat masing-masing negara berjuang untuk kepentingan nasionalnya di forum WTO, pemerintah Indonesia justru seperti hilang ingatan. Pemerintah Indonesia terlihat sama sekali tidak ada itikad politik membela kepentingan puluhan juta petaninya yang menjadi korban agenda liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian. Pemerintah Indonesia juga tidak peduli dengan nasib industri nasionalnya yang tergilas oleh liberalisasi perdagangan. Jalan Keluar Bagi penulis penolakan terhadap WTO merupakan pertempuran antara kemanusiaan melawan keserakahan/ketamakan perusahaan multi transnasional yang ingin terus mengekspansi pasar negara-negara berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, penerapan kedaulatan pangan di tiap negara adalah jawabannya. Keluarkan WTO dari pertanian. Lima alasan mengapa Indonesia harus keluar dari WTO. Pertama, agenda ekonomi WTO telah merampas kedaulatan ekonomi Indonesia. Liberalisasi impor pangan berdampak akut terhadap hancurnya produksi pangan lokal. Akibatnya, selama satu dekade terakhir kita makin bergantung pada pangan impor. Selanjutnya liberalisasi perdagangan tersebut, telah menghancurkan industri nasional. Dalam satu dekade terakhir Indonesia mengalami fenomena “de-industrialisasi”. Kedua, agenda WTO merampas kedaulatan politik Indonesia. misalnya dengan banyaknya produk Undang-Undang dan kebijakan politik pemerintah yang tunduk atau didiktekan oleh WTO. Kalau mau jujur, UU pangan itu sama persis dengan apa yang menjadi kesepakatan WTO di sektor pertanian (AoA). Padahal, UU itu jelas-jelas mengangkangi konstitusi kita. Contoh lainnya adalah lahirnya Permendag nomor 16 tahun 2013 yang merevisi Permendag sebelumnya. Intinya, pada Permendag baru ini ada 18 produk buah/sayur Indonesia yang dilepaskan dari kebijakan pengetatan impor. Permendag itu lahir karena gugatan AS di Badan Sengketa WTO. Padahal, pengetatan impor itu untuk melindungi kepentingan petani kita demi menjamin ketersediaan produksi buah/sayur lokal. Ketiga, keanggotaan Indonesia di WTO justru merusak garis politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Dalam forum negosiasi WTO, posisi Indonesia cenderung menjadi kaki tangan bagi kepentingan negara imperialis dan korporasi multi/trans nasional. Keempat, agenda ekonomi yang diusung WTO sangat bertolak-belakang dengan konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Semangat filosofis pasal 33 UUD 1945 sangat menentang liberalisme ekonomi, sementara agenda ekonomi WTO sangat mendorong pada liberalisasi ekonomi. Dalam pasal 33 UUD 1945, ada keharusan agar negara mengambil peranan dalam mengorganisir perekonomian agar mendatangkan kemakmuran bagi rakyat sedangkan agenda WTO menghendaki pemerintah memfasilitasi untuk melepasnya. Pemerintah harus segera menghentikan pengurangan subsidi bagi rakyat miskin, mengubah orientasi kebijakan anggaran negara yang lebih mencerminkan keberpihakan pada pembangunan sektor pertanian, kelautan dan perikanan, dan pengembangan industri nasional. Kebijakan anggaran negara juga harus mendukung penguatan kelembagaan ekonomi rakyat seperti koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Penulis: 

Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.

Posted By Ayub Gazali06:25

SEJARAH GATT SAMPAI BERTRANSFORMASI MENJADI WTO

Pada akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah menjadi suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan oleh semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme perdagangan yang mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk saling menjalin kerjasama perdagangan antar satu dan lainnya.Kompleksitas dan makin dinamisnya perdagangan dan moneter internasional membentuk suatu gagasan pendirian suatu organisasi perekonomian yang mendaulati terbentuknya International Monetary Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan khusus yakni General Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang berfokus menyelesaikan dan mengatur persoalan perdagangan. Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan International Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi dari Havana Charter mengenai pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial Policy. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah sebagai suatu persetujuan internasional yang mengatur mengenai tarif tarif perdagangan yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan pada tahun 1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai perdagangan internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta diskriminasi dalam perdagangan internasional tersebut.Namun, GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa yang terjadi saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat ad-hoc yang diusung oleh rezim tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim tersebut terdapat adanya perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan kompetitifitas yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui kebijakan negara lain. Karena rezim ini berprinsip most favored nations (MFN). Namun International Trade Organization (ITO) tidak berhasil didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat semakin berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application sampai Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana GATT adalah Committee-ITO/GATT yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. 

Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah: • Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. • Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang menangani masalah perdagangan • Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan. Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995. Disebapkan rezim GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa, pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO atau World Trade Organization yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalamUruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau World Trade Organization ini diharapkan mampu memperlancar arus perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota rezim tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade Organization ini, negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena rezim ini didominasi oleh negara – negara barat yang mampu merealisasikan interest mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut (Ford 2002). Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan oleh WTO: 
 Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas perdagangan. 
 GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu. 
 Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota. 

Akan tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan antara lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir, negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya suatu bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000 jenis tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara. 2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini, telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara. 3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi 5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang lebih dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS dan kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara. 7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”, Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155 miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara. 8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke arah strategi orientasi ekspor. 9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal, Kanada telah diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai Mid-Term Ministerial Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin yang telah dicapai dalam perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut telah dicapai kemajuan pada 11 bidang kecuali pertanian. Dalam periode ini, Indonesia mulai memainkan peranan aktifnya dalam Putaran Uruguay. 10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989 untuk meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran sebelumnya yang deadlock pada masalah pertanian. 11. 1990: Pada bulan Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan sidang tingkat menteri. Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan apapun, karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama menolak untuk meratitikasi bidang pertaniannya. Dengan demikian, perundingan pada semua bidang mencapai deadlock. 12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat Jenderal GATT selalu ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada tingkat pejabat tinggi telah menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil akhir dari Uruguay Round. 13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992, TNC bersidang untuk menampung reaksi negara-negara peserta dan menentukan langkah selanjutnya dalam perundingan. Negara-negara perserta menyatakan kesulitannya untuk menerapkan DFA pada berbagai bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi pertanian dan sistem proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam perundingan yang berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan antara lain; tariff dan non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta), komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam periode ini juga telah disepakati untuk membentuk kerangka kerja WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT. Pada tanggal 14 Desember 1993, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mulai membuka akses pasar secara bertahap pada sector telekomunikasi, industri, angkutan laut, turisme dan jasa keuangan. 14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket yang ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan WTO. Sementara dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi dengan DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga Indonesia siap memberlakukan kewajiban perjanjian sesuai ketentuan dalam perjanjian tersebut, antara lain; perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, perdagangan jasa, turisme, telekomunikasi, dan beberapa sektor lain. Perubahan GATT menjadi WTO membawa fase baru.WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan dunia lebih kompleks dan efektif dibanding GATT.WTO memberikan fokus yang besar bagi perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain itu WTO juga terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau negara melibatkan keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan status WTO yang sebagai organisasi internasional.Sebagai suatu organisasi internasional, WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi.Hal ini kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh negara- negara anggota serta perdagangan internasional. Dalam stuktur organisasinya, WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Aktivitas WTO sendiri, meliputi pengadaan pertemuan antara perwakilan negara anggota dengan agenda meregulasi kembali sistem perdagangan yang ada. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO disini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang dipegang oleh WTO, membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki kapasitas lebih dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara.

WTO merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan internasional untuk meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara anggotanya. Hingga saat ini WTO beranggotakan 160 negara.Jumlah ini telah mewakili sebanyak 97% perdagangan yang ada di dunia.Dua pertiga dari jumlah keseluruhan negara anggota WTO terdiri dari negara berkembang.Status negara berkembang sendiri ditentukkan oleh masing- masing negara bukan oleh WTO ataupun negara anggota lainnya.Proporsi ini kemudian berkaitan dengan sistem pemngutan suara yang diterapkan oleh WTO. WTO menerapkan prinsip konsensus, melalui pemungutan suara atau voting. Sistem voting yang ada didasrkan pada persentase keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, adalah Amerika Serikat yang memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara (Peet, 2003). Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus mengundang pro dan kontra dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan bahwa WTO merupakan organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran perekonomian kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas dalam lingkaran kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung liberalisme perdagangan dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan pada negara- negara maju saja, dan tidak menghiraukan negara berkembang. Prinsip keadilan perdagangan (fair-trade) dinilai hanya adil bagi negara maju saja, tidak bagi negara miskin dan berkembang. Keadilan berlaku bagi negara- negara yang menerapkan perekonomian bebas, seperti yang tercantum dalam asas liberalisme ekonomi. Kritik lain juga menyebutkan mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan oleh WTO dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi pada Meksiko, dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak sebanyak perdagangan yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan yang mendapatkan banyak keuntungan walaupun sedikit melakukan kegiatan perdagangan dan tidak mendapat investasi asing yang begitu besar. Perubahan dalam rezim perdagangan internasional tersebut dapat dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama, pendekatan tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat negara dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah dalam fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini menyebabkan peran negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding dengan negara bermateri lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjelaskan peran negara berkembang dalam memperkuat rezim perdagangan internasional multirateral tersebut.Serta pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut serta berpengaruh dalam perubahan agen melalui tindakan dan struktur interaksi yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor (Ford 2002).Kedua, pendekatan strukturalis.Pendekatan ini berpendapat bahwa negara hegemon memiliki kekuatan besar dalam perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan bahwa perubahan rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai kepentingan nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis mengungkapkan bahwa kapitalisme global sebagai pendukung rezim perdagangan internasional. Negara hegemon berusaha mati-matian untuk memperoleh kepentingan mereka, namun ia mengorbankan negara lain dengan kedok kemaslahatan bersama atau universal. Inilah yang menjadi kelemahan pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan neoliberalisme.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat negara dan sebagai ekspresi dari kepentingan negara tersebut.Kepentingan negara yang dimaksud oleh pendekatan neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang menciptakan rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan norma yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan lain-lain. Sehingga negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim tersebut kurang terealisasikan kepentingan nasionalnya. Jadi, rezim perdagangan internasional adalah sebuah distribusi ide secara kolektif mengenai perdagangan internasional yang mengatur mengenai perilaku dalam perdagangan bebas tersebut serta menjelaskan mengenai peran negara sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari rezim perdagangan internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade, menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa perdagangan internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi barang-barang ke berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perubahan dalam rezim internasional tersebut pasti memiliki kelemahan.Karena setiap pendekatan dalam Hubungan Internasional bersifat pelengkap kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebelumnya dengan sudut pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan tersebut sehingga menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam Hubungan Internasional. Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay, maka pada tanggal 1 Januari 1995 di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues, antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komiditas tekstil, produk pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu: 
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, 
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, 
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; 
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan 
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. 

Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki alat untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya. Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran perundingan perdagangan multilateral yakni Jenewa 1 Januari 1995, Singapura, 9 - 13 Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei 1998, Seattle, 30 November - 3 Desember 1999, Doha, 9 - 13 November 2001, Cancun, 10 - 14 September 2003, Jenewa, 30 November - 2 Desember 2009, Jenewa, 15-17 Desember 2011 dimana putaran perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha Round prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun. Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak 1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu Putaran Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade; Anti Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama kali dibahas dalam GATT. Pada Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuan-persetujuan perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights, penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade Organization (WTO). 

Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya. Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya: dibidang HAKI, ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO, menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO.

Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut, antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya. Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal.

Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan Desember 2011, maka waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya. Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud.Dari sudut pandang tersebut, tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia - meskipun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan bebas ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini terasa defensif hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political level’.Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali.Kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota. 




Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007.Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa.Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka. Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya, seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema: 
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO • Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
• Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO 
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
  Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. 
Posisi Indonesia Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi PersetujuanPembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaiandevelopment objectives dari DDA.

Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara. Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draft modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6 Desember 2008. 

REFERENSI: 
 Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. 
 Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: ELLIPS Project, 1996. 
 Rajagukguk, Erman. Indonesiasi Saham. Cetakan Pertama. Jakarta: Bina Aksara, 1985. 
 Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Cet. Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. 
 Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003. 
 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992.
  Suryana, Agus. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama. Jakarta: Harapan Baru Raya, 2005. 
 Business Guide To Uruguay Round. Cetakan Pertama. Geneva: International Trade Center UNCTAD/WTO (ITC), 1995. 
 Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 1 Tahun 1995 LN Nomor 13, TLN Nomor 3587. 
 Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 LN Nomor 1, TLN No. 2818.
  Undang-Undang Tentang Perubahan dan Tambahan Tentang Undang-Undang Penanaman Modal Asing. UU No. 11 Tahun 1970 LN Nomor 46, TLN Nomor 2943.
  Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, International Studies Review, Vol. 4, No. 3, USA: Blackwell Publishing. 
 Abbot, Roderick. 2007. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate publishing company. 
 Peet, Richard. 2003. “The World Trade Organization”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, pp. 146-199 

 Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.

Posted By Ayub Gazali06:21

HIDUP DIANTARA TEROR KEKERASAN VISUAL


Jika sampah adalah segala hal yang mengganggu kenyamanan kita , maka Makassar dapat dikatakan lebih mirip Kota sampah dibandingkan dengan kota dunia. Anda dapat melihatnya dengan jelas dari tanahnya, airnya, maupun udaranya. Kemanapun anda menghadapkan wajah anda, maka disitu ada sampah. Salah satu sampah yang paling mengganggu kenyamanan masyarakat kota adalah sampah-sampah visual seperti papan reklame, spanduk, baligho, dan poster-poster. 

 
Setiap ruang sampai sudut kota seperti dijarah oleh sampah-sampah visual tersebut. Ruang publik yang ada di kota Makassar lebih mirip dengan medan perang. Disanalah peperangan yang hebat terjadi antara beberapa golongan. Disanalah pelaku-pelaku pasar berkompetisi melalui iklan-iklanya di papan reklame, para politisi memperebutkan kekuasaan melalui baligho-balighonya, serta para pelaku media massa mengatur lalu lintas opini publik.
Pelaku pasar sangatlah mengganggu kenyamanan publik secara sosial dengan jargon-jargon seperti “harga murah”, “cepat beli”, dan “diskon” yang tertera dalam berbagai iklan-iklannya.. Deretan iklan itu seperti terus-menerus mengganggu kita agar terus-menerus berbelanja dan selalu mengajak kita untuk cenderung berprilaku dengan konsumtif. Sementara itu, para politisi menjual citra dirinya dengan berbagai program yang “katanya” mengabdi kepada kepentingan publik. Mereka mendirikan baligho-baligho tinggi, memaku pepohonan, serta memasang spanduk-spanduk panjang untuk memperlihtkan citra dirinya itu.
Kemanapun kita pergi, kumpulan iklan-iklan, spanduk, baligho, poster, dan reklame itu menjadi teror tersendiri dalam aktivitas keseharian kita. Benda-benda itu layaknya sebuah terror visual yang mengikuti anda kemana-mana. Tak ayal lagi benda-benda itu seperti mengendalikan keseharian kita dan mengatur kemana kita harus belanja, kemana kita bisa membeli ini, dan kemana kita dapat membeli itu. Sepertinya tak banyak ruang lagi yang tersisa bagi kepentingan publik.
* * *
Masyarakat selalu menjadi korban dari peperangan oleh benda-benda itu. Mereka secara tak sadar terbujuk oleh ekspresi-ekspresi yang ada pada tumpukan-tumpukan sampah visual itu. Itulah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “Kekerasan Simbolik”, dimana ekspresi-ekspresi yang tampak pada benda-benda itu menjadi media dikte bagi segolongan orang seperti pelaku pasar dan politisi untuk membentuk persepsi-persepsi masyarakat. Tampakan-tampakan itu membuat klasifikasi, kategorisasi, defenisi serta referensi sosial tertentu yang sesuai dengan kepentingan kelompok dominan dan elite. Dan tentu saja posisi-posisi dominan dalam masyarakat selalu diduduki oleh pelaku pasar serta elit politik
Mental-mental masyarakat menjadi kacau balau akibat penampakan-penampakan yang sangat mengganggu kondisi kejiwaan. Masyarakat mengkonsumsi hampir semua yang tampak didepan mereka tanpa disadari. Mereka masuk kedalam dunia “Hiperrealitas” seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrilard, dimana masyarakat mabuk kedalam dunia dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi sangat kabur. Mereka mengkonsumsi jargon-jargon iklan, janji-janji politisi, serta tampakan-tampakan dominan yang mereka saksikan dengan mentah-mentah, padahal semuanya hanyalah kepalsuan.
* * *
Disisi lain, hanya sedikit sekali dari benda-benda itu yang memuat tentang pelayanan publik. Yang paling sering kita dapatkan hanyalah tentang bagaimana membayar pajak-pajak serta retribusi-retribusi yang wajib kita setor kepada pemerintah. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah kota sepertinya tidak terlalu menyayangi rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ruang selalu mengisyaratkan bahwa pajak-pajak hasil iklan lebih diutamakan ketimbang layanan-layanan bagi masyarakat sehingga kita bisa saja menarik kesimpulan bahwa pemerintah kota lebih menyayangi mereka daripada kita.
Tentu saja masyarakat kita juga menjadi sedikit rabun terhadap fasilitas serta layanan-layanan pemerintah bagi rakyatnya karena tak ada rambu dan petunjuk yang mereka dapatkan dalam kehidupan kesehariannya. Petunjuk yang mereka dapatkan hanyalah petunjuk-petunjuk yang didiktekan oleh pasar serta asumsi-asumsi para politisi yang mengikuti mereka kemana-mana. Masyarakat lama-kelamaan bisa saja mengalami kebutaan permanen terhadap layanan pemerintah jika tak mendapat petunjuk sama sekali.
Benda-benda itu sama sekali tak mengabdi kepada kebaikan masyarakat kota secara luas dan cenderung menguntungkan para pelaku pasar dan penjual kekuasaan. Semoga pemerintah dan rakyatnya tidak ikut-ikutan menjadi sampah, jika kita sepakat bahwa semua sampah adalah apapun yang mengganggu kepentingan publik.
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 6 Juni 2015

Posted By Ayub Gazali05:51