Tuesday 9 June 2015

IMPLIKASI KESEPAKATAN KTM KE IX WTO BALI 2013 TERHADAP SEKTOR PERTANIAN INA (Muh Irvan Mahmud Asia)

 Apakah Itu WTO ? WTO berdiri sejak 1 Januari 1995 sebagai kelanjutan Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah wadah kerja sama ekonomi beranggotakan 160 negara. WTO sebagai organisasi internasional global yang mengatur perdagangan antar Negara. Fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu: (1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, (2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, (3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan, (4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan (5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Akan tetapi semua fungsi tersebut hanya dijadikan alat untuk mendikte dan memeras kekayaan sumber daya alam dinegara-negara miskin dan berkembang bukan untuk menciptakan pemerataan, kesejahteraan serta keadilan dalam peradaban umat manusia.



Protes menuntut kebijakan WTO tersebut kemudian terjadi dinegara-negara berkembang, mengantisipasi agar eskalasi tuntutan tidak meluas, sejak Doha Development Agenda 2001 diluncurkan WTO mulai berubah. Menurut negara-negara maju anggota WTO, kebijakan WTO mulai berpihak kenegara berkembang sehingga dalam perundingannya mempertimbangkan keterbatasan negara berkembang dalam melaksanakan komitmennya. Akan tetapi menurut penulis baik sebelum maupun sesudah Doha Development Agenda 2001 keberadaan WTO tetap menjadikan negara berkembang sebagai subordinat dan termarjinalkan dari sistem perdagangan multilateral yang ada. Perdagangan dunia yang tumbuh 22 kali lipat dalam kurun waktu 1950-2000, dengan ekspor barang tumbuh 6% per tahun dan untuk periode 2000-2012 perdagangan dunia tumbuh 2, 17 kali lipat (UN Comtrade 2013). Laporan world commission on the social dimension of globalization tahun 2004 melaporkan dampak negatif globalisasi di 73 negara yang disurvei, menunjukan bahwa hampir semua kawasan kecuali Asia Selatan, Uni Eropa dan Amerika Serikat jumlah pengangguran meningkat pada kurun waktu 1990-2002 dan 59% masyarkat dunia hidup dinegara dengan kesenjangan yang meningkat. Hanya 5% penduduk tinggal dinegara-negara dengan kesenjangan menurun. Penyebapnya aturan main global yang tidak adil, lebih mengedepankan nilai kebendaan, telah mencabut sebagian kedaulatan negara berkembang, banyak pihak dirugikan oleh globalisasi dan pemaksaan sistem ekonomi liberal dinegara berkembang. Dalam sektor pertanian, liberalisasi sektor pertanian memang sudah lama menjadi pertengkaran antara negara-negara maju dengan negara berkembang. 

Negara maju menghendaki penghapusan subsidi pertanian sebagai jalan memasuki pasar pangan negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, banyak negara berkembang tidak mau begitu saja menerima tuntutan negara maju. Negara-negara berkembang yang dikomandoi oleh India, juga negara-negara Amerika Latin, bersikukuh mempertahankan subsidi bagi sektor pertaniannya. Tuntutan negara berkembang itu bukan tanpa alasan. Mereka bertanggung jawab untuk memberi makan rakyatnya. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa penghapusan subsidi pertanian hanya akan membunuh sektor pertanian mereka. Maklum, sektor pertanian negara berkembang tidak akan sanggup bersaing dengan pertanian negara maju yang didukung oleh teknologi, skill/keahlian, dan modal. Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. Indonesia dalam perangkap WTO Mengutip hasil diskusi Panel Focus Grup Industri, Perdagangan dan Investasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan Kementrian Perdagangan pada tanggal 12 November 2013, pengusaha yangg diwakili ketua APINDO meminta sebaiknya KTM di Bali dibatalkan agar tidak ada komitmen baru sebab pengusaha Indonesia kewalahan dengan pembukaan pasar. Ketua Komisi VI DPR-RI sudah memperingatkan Mentri Perdagangan agar tidak membuat komitmen baru bagi Indonesia di KTM Bali. 

LSM yang diwakili Direktur Eksekutif Institute for Global Justice mengemukakan banyaknya permasalahan Indonesia dalam pasar yang kian terbuka. Untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada WTO sebagai forum utama perundingan perdagangan multilateral yang meliputi 3 elemen utama: fasilitas perdagangan, isu tertentu dari perundingan sektor pertanian, dan isu-isu pembangunan. Ketiga elemen ini masuk dalam Paket Bali. Hasil Kesepakatan KTM WTO Bali KTM WTO di Bali menyepakati untuk mengurangi hambatan perdagangan yang dapat menambah suntikan dana. WTO juga sepakat untuk mengurangi batasan ekspor dari negara miskin dan memberikan ruang yang lebih besar bagi negara berkembang untuk memberikan subsidi guna mengamankan pasokan pangannya khususnya bagi rakyat miskin. Namun pada sisi lain hasil kesepakatan KTM WTO di Bali yang disebut Paket Bali, mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama pengamat dan aktivis. Menurut penulis Paket Bali hanya menguras dan memeras serta tidak memberikan keuntungan bagi petani Indonesia. Pertanian yang menjadi isu panas di WTO, adalah penjualan hak atas pangan bagi jutaan rakyat di seluruh penjuru dunia yang menderita malnutrisi dan kelaparan. Selain itu Paket Bali tak berubah dari upaya-upaya penghisapan sumber daya alam bagi negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Kebijakan liberalisasi perdagangan selama keberadaan WTO sejak tahun 1995, telah mengancurkan sistem pangan dan suplai pangan nasional kita. Kerisauan atas kondisi petani Indonesia tentu sangat beralasan, mengingat selama ini negara-negara maju dengan segala upaya terus menggerogoti ketahananan pangan dan menjajah pertanian Indonesia. Hal itu dilakukan melalui beragam cara, melalui teknologi pertanian, pembatasan ruang gerak pertanian Indonesia dan lain sebagainya. Akibatnya, pertanian Indonesia sejak 15 tahun belakangan benar-benar mengalami kemunduran yang sangat jauh. Implikasi dari liberalisasi sektor pertanian, Indonesia terus mengimpor beras, kedelai, jagung, ubi, bawang, cabai, buah-buahan dan bahkan garam diekspor. Bahkan banyak pihak yang menyindir pemerintah dengan memperkirakan jika pemerintah Indonesia tidak menyikapi persoalan pertanian ini dengan serius, bisa jadi ke depan Indonesia juga akan mengimpor jengkol, petai dan lainnya. Selain itu, kesepakatan KTM WTO Bali 2013 adalah Kenaikan subsidi pertanian dari 10% menjadi 15% hanya berlangsung selama empat tahun, artinya tahun 2018 mendatang subsidi akan dicabut. Argumentasi sebagian elit dan ekonom pro-neoliberal di Indonesia, yang mengklaim bahwa agenda perdagangan bebas berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%, tetapi apa memberikan kontribusi bagi ekonomi nasional dan rakyat Indonesia? Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh liberalisasi investasi dan perdagangan itu justru memicu perampasan sumber daya milik rakyat oleh korporasi multinasional. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak berkontribusi dalam memperkuat struktur ekonomi nasional. Sampai sekarang anggaran kita terjerembab dalam defisit dan jerat utang (Per November 2013 utang Indonesia 2.276 Triliun). Sementara sektor pertanian dan industri kita merosot. Kita makin bergantung pada impor. Lebih jauh liberalisasi investasi dan perdagangan memicu konflik sumber daya antara korporasi besar melawan rakyat, pengrusakan lingkungan, dan korupsi. Dengan disetujuinya paket Bali, upaya untuk menghapuskan kelaparan dan kemiskinan semakin jauh dari harapan. 

Pada tahun 1995, saat WTO baru berdiri, angka kelaparan di dunia mencapai 825 juta jiwa. Namun, saat ini angka kelaparan dunia sudah mencapai 1 milyar jiwa. Sebagian besar berada di Asia termasuk Indonesia.Hak atas pangan adalah hak asasi setiap manusia di atas muka bumi ini, namun Paket Bali menghalangi realisasi hak tersebut dengan mengangkangi kedaulatan rakyat melalui perjanjian WTO, dan Pemerintah Indonesia adalah salah satu aktor utama yang memuluskan strategi kotor tersebut. Penulis juga tidak setuju mengenai “peace clause” yang diklaim pihak WTO sebagai kemajuan dalam Paket Bali. Menurut penulis, memang benar bahwa isi dalam “peace clause” membolehkan subsidi pertanian, tapi sebenarnya hal ini hanyalah kelicikan terselubung, karena intinya negosiasi ini ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan, yang akan terus meliberalisasi sektor luas di negara berkembang. Peace clause, itu pembodohan publik. Misalnya begini, kita ingin mensubsidi satu komoditas pertanian kita, hal itu harus ditukar dengan pembukaan pasar kita seluas mungkin dengan menghilangkan tarif impor. Ini adalah omong kosong karena seharusnya negara tak perlu memohon kepada WTO untuk menjamin hak atas pangan rakyatnya. Pangan dan pertanian tidak bisa diatur dalam rezim perdagangan bebas. Menurut penulis, fasilitas perdagangan bebas WTO adalah usul negara maju untuk mendorong ekspansi pasar guna menyelamatkan ekonomi mereka yangterus stagnan. Meskipun penulis tidak menampik pentingnya perdagangan dalam perekonomian global, tetapi harus berkeadilan. Data dari World Trade Report 2013, menyebutkan bahwa 80% ekspor AS dikuasai oleh 1 perusahaan besar, 85% ekspor Eropa ada di tangan 10 eksportir besar dan 81% ekspor terkonsentrasi pada 5 perusahaan ekspor di negara berkembang. Subsidi Terus Berkurang Secara substantif, pertemuan WTO kali ini bertujuan menyelesaikan sebagian isu kunci dalam Putaran Doha, masing-masing: Trade Facilitation, LDCs package, dan Agriculture. Ketiga isu tersebut selanjutnya disebut Paket Bali. Dalam perkembangannya, Paket Bali tidak memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Sebab melalui ketiganya, arus barang dan jasa dari negara maju akan lebih mudah masuk ke negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk ke Indonesia. Bahkan negara berkembang terancam kehilangan kesempatan meningkatkan produksi pangan domestiknya setelah negara maju menolak proposal pemberian subsidi bagi kepentingan Public Stockholding dan Food Security yang diusulkan oleh negara Kelompok 33, termasuk Indonesia. Jauh sebelumnya, berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) cenderung mengalami penurunan. Seperti yang terlihat pada penurunan alokasi subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru alokasinya ikut mengalami penurunan dari 5,3% menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun 2010 sebesar 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu. Hal ini sangat berkorelasi dengan agenda WTO yang melakukan penghapusan terhadap subsidi domestik. Pemerintah telah melakukan beberapa pengurangan subsidi, bahkan menghapus beberapa subsidi untuk rakyat sejak tahun 2008. Hal ini mengakibatkan impor bahan baku seperti kedelai, beras, dan lain-lain semakin merajalela hingga menyebabkan rapuhnya perekonomian nasional kita. Non Energi, 2005-2013Berbeda dengan Indonesia, negara-negara maju justru terus memperbesar subsidi di sektor pertaniannya. Sebagai ilustrasi, di 2010 saja, subsidi pertanian di Amerika Serikat mencapai US$ 130 miliar. Begitupun di Uni Eropa, yang memberikan subsidi mencapai US$ 106 miliar di 2009. Sedangkan India, subsidi pertaniannya hanya Rp212 triliun per tahun. Indonesia cuma Rp.143 triliun per tahun. Begitulah Negara-negara maju menghancurkan pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, melalui berbagai organisasi dunia. Pengurangan subsidi domestik sejalan dengan berlangsungnya kebijakan harmonisasi tarif, berupa penurunan tarif bea masuk Most Favoured Nation (MFN) yang sejalan dengan prinsip WTO untuk memudahkan arus impor barang dan jasa ke Indonesia. Kebijakan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2005-2010 telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010. Akibatnya, Selama periode 2005–2010 perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN semakin menurun, dari 9,9 persen tahun 2005 menjadi 7,5 persen pada tahun 2010. Dampak kebijakan ini secara jelas terlihat dari menurunnya potensi penerimaan pajak bea masuk perdagangan internasional dalam anggaran negara. 

Kebijakan pertanian versi WTO itu membawa malapetaka bagi pertanian Indonesia. Pertama, produksi pangan nasional terus merosot. Bentuk usaha tani tidak lagi sanggup mensejahterakan petani. Akibatnya, banyak petani yang meninggalkan pekerjaannya. Yang paling ironis, 60% penerima program raskin di seluruh Indonesia adalah petani. Kedua, Indonesia semakin bergantung pada impor. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia didapatkan melalui impor: impor impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen). Indonesia sebetulnya adalah korban paling mengerikan dari agenda WTO. Namun ironisnya, tidak seperti India dan negara-negara Amerika Latin, Indonesia justru seolah-olah tidak sadar sebagai korban. Malahan, dalam konteks pertemuan puncak WTO di Bali, pemerintah Indonesia justru ingin tampil seolah-olah sebagai penyambung lidah negara-negara maju untuk memaksakan kesepakatan antar negara-negara anggota WTO. Hal itu terlihat ketika India bersikeras menaikan subsidi sektor pertanian dari 10% menjadi 15% , Indonesia tidak berani berpihak kepada India. Artinya, Indonesia berupaya keras menyukseskan agenda WTO, dibawa kendali Amerika Serikat dan sekutunya yang sebetulnya sudah mandek sejak kegagalan Putaran Doha tahun 2001 lalu dan Putaran Jenewa, Swiss Bulan November tahun 2011. Inilah yang sebetulnya sangat ironis. Di saat masing-masing negara berjuang untuk kepentingan nasionalnya di forum WTO, pemerintah Indonesia justru seperti hilang ingatan. Pemerintah Indonesia terlihat sama sekali tidak ada itikad politik membela kepentingan puluhan juta petaninya yang menjadi korban agenda liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian. Pemerintah Indonesia juga tidak peduli dengan nasib industri nasionalnya yang tergilas oleh liberalisasi perdagangan. Jalan Keluar Bagi penulis penolakan terhadap WTO merupakan pertempuran antara kemanusiaan melawan keserakahan/ketamakan perusahaan multi transnasional yang ingin terus mengekspansi pasar negara-negara berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, penerapan kedaulatan pangan di tiap negara adalah jawabannya. Keluarkan WTO dari pertanian. Lima alasan mengapa Indonesia harus keluar dari WTO. Pertama, agenda ekonomi WTO telah merampas kedaulatan ekonomi Indonesia. Liberalisasi impor pangan berdampak akut terhadap hancurnya produksi pangan lokal. Akibatnya, selama satu dekade terakhir kita makin bergantung pada pangan impor. Selanjutnya liberalisasi perdagangan tersebut, telah menghancurkan industri nasional. Dalam satu dekade terakhir Indonesia mengalami fenomena “de-industrialisasi”. Kedua, agenda WTO merampas kedaulatan politik Indonesia. misalnya dengan banyaknya produk Undang-Undang dan kebijakan politik pemerintah yang tunduk atau didiktekan oleh WTO. Kalau mau jujur, UU pangan itu sama persis dengan apa yang menjadi kesepakatan WTO di sektor pertanian (AoA). Padahal, UU itu jelas-jelas mengangkangi konstitusi kita. Contoh lainnya adalah lahirnya Permendag nomor 16 tahun 2013 yang merevisi Permendag sebelumnya. Intinya, pada Permendag baru ini ada 18 produk buah/sayur Indonesia yang dilepaskan dari kebijakan pengetatan impor. Permendag itu lahir karena gugatan AS di Badan Sengketa WTO. Padahal, pengetatan impor itu untuk melindungi kepentingan petani kita demi menjamin ketersediaan produksi buah/sayur lokal. Ketiga, keanggotaan Indonesia di WTO justru merusak garis politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Dalam forum negosiasi WTO, posisi Indonesia cenderung menjadi kaki tangan bagi kepentingan negara imperialis dan korporasi multi/trans nasional. Keempat, agenda ekonomi yang diusung WTO sangat bertolak-belakang dengan konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Semangat filosofis pasal 33 UUD 1945 sangat menentang liberalisme ekonomi, sementara agenda ekonomi WTO sangat mendorong pada liberalisasi ekonomi. Dalam pasal 33 UUD 1945, ada keharusan agar negara mengambil peranan dalam mengorganisir perekonomian agar mendatangkan kemakmuran bagi rakyat sedangkan agenda WTO menghendaki pemerintah memfasilitasi untuk melepasnya. Pemerintah harus segera menghentikan pengurangan subsidi bagi rakyat miskin, mengubah orientasi kebijakan anggaran negara yang lebih mencerminkan keberpihakan pada pembangunan sektor pertanian, kelautan dan perikanan, dan pengembangan industri nasional. Kebijakan anggaran negara juga harus mendukung penguatan kelembagaan ekonomi rakyat seperti koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Penulis: 

Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.

0 comments:

Post a Comment