Apakah
Itu WTO ? WTO berdiri sejak 1 Januari 1995 sebagai kelanjutan Agreement
on Tariffs and Trade (GATT) adalah wadah kerja sama ekonomi
beranggotakan 160 negara. WTO sebagai organisasi internasional global
yang mengatur perdagangan antar Negara. Fungsi atau tujuan WTO dapat
dilihat dalam Article III WTO, yaitu: (1) mendukung pelaksanaan,
pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk
memujudkan sasaran perjanjian tersebut, (2) sebagai forum perundingan
bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah
dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang
ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, (3) mengatur
pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan, (4)
mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan (5)
menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank),
serta badan-badan yang berafiliasi. Akan tetapi semua fungsi tersebut
hanya dijadikan alat untuk mendikte dan memeras kekayaan sumber daya
alam dinegara-negara miskin dan berkembang bukan untuk menciptakan
pemerataan, kesejahteraan serta keadilan dalam peradaban umat manusia.
Protes
menuntut kebijakan WTO tersebut kemudian terjadi dinegara-negara
berkembang, mengantisipasi agar eskalasi tuntutan tidak meluas, sejak
Doha Development Agenda 2001 diluncurkan WTO mulai berubah. Menurut
negara-negara maju anggota WTO, kebijakan WTO mulai berpihak kenegara
berkembang sehingga dalam perundingannya mempertimbangkan keterbatasan
negara berkembang dalam melaksanakan komitmennya. Akan tetapi menurut
penulis baik sebelum maupun sesudah Doha Development Agenda 2001
keberadaan WTO tetap menjadikan negara berkembang sebagai subordinat dan
termarjinalkan dari sistem perdagangan multilateral yang ada.
Perdagangan dunia yang tumbuh 22 kali lipat dalam kurun waktu 1950-2000,
dengan ekspor barang tumbuh 6% per tahun dan untuk periode 2000-2012
perdagangan dunia tumbuh 2, 17 kali lipat (UN Comtrade 2013). Laporan
world commission on the social dimension of globalization tahun 2004
melaporkan dampak negatif globalisasi di 73 negara yang disurvei,
menunjukan bahwa hampir semua kawasan kecuali Asia Selatan, Uni Eropa
dan Amerika Serikat jumlah pengangguran meningkat pada kurun waktu
1990-2002 dan 59% masyarkat dunia hidup dinegara dengan kesenjangan yang
meningkat. Hanya 5% penduduk tinggal dinegara-negara dengan kesenjangan
menurun. Penyebapnya aturan main global yang tidak adil, lebih
mengedepankan nilai kebendaan, telah mencabut sebagian kedaulatan negara
berkembang, banyak pihak dirugikan oleh globalisasi dan pemaksaan
sistem ekonomi liberal dinegara berkembang.
Dalam sektor pertanian, liberalisasi sektor pertanian memang sudah lama
menjadi pertengkaran antara negara-negara maju dengan negara
berkembang.
Negara
maju menghendaki penghapusan subsidi pertanian sebagai jalan memasuki
pasar pangan negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, banyak negara
berkembang tidak mau begitu saja menerima tuntutan negara maju.
Negara-negara berkembang yang dikomandoi oleh India, juga negara-negara
Amerika Latin, bersikukuh mempertahankan subsidi bagi sektor
pertaniannya.
Tuntutan negara berkembang itu bukan tanpa alasan. Mereka bertanggung
jawab untuk memberi makan rakyatnya. Di sisi lain, mereka menyadari
bahwa penghapusan subsidi pertanian hanya akan membunuh sektor pertanian
mereka. Maklum, sektor pertanian negara berkembang tidak akan sanggup
bersaing dengan pertanian negara maju yang didukung oleh teknologi,
skill/keahlian, dan modal. Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil
dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara
maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya.
Indonesia dalam perangkap WTO Mengutip hasil diskusi Panel Focus Grup
Industri, Perdagangan dan Investasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
(ISEI) dengan Kementrian Perdagangan pada tanggal 12 November 2013,
pengusaha yangg diwakili ketua APINDO meminta sebaiknya KTM di Bali
dibatalkan agar tidak ada komitmen baru sebab pengusaha Indonesia
kewalahan dengan pembukaan pasar. Ketua Komisi VI DPR-RI sudah
memperingatkan Mentri Perdagangan agar tidak membuat komitmen baru bagi
Indonesia di KTM Bali.
LSM
yang diwakili Direktur Eksekutif Institute for Global Justice
mengemukakan banyaknya permasalahan Indonesia dalam pasar yang kian
terbuka.
Untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada WTO sebagai forum utama
perundingan perdagangan multilateral yang meliputi 3 elemen utama:
fasilitas perdagangan, isu tertentu dari perundingan sektor pertanian,
dan isu-isu pembangunan. Ketiga elemen ini masuk dalam Paket Bali.
Hasil Kesepakatan KTM WTO Bali KTM WTO di Bali menyepakati untuk
mengurangi hambatan perdagangan yang dapat menambah suntikan dana. WTO
juga sepakat untuk mengurangi batasan ekspor dari negara miskin dan
memberikan ruang yang lebih besar bagi negara berkembang untuk
memberikan subsidi guna mengamankan pasokan pangannya khususnya bagi
rakyat miskin. Namun pada sisi lain hasil kesepakatan KTM WTO di Bali
yang disebut Paket Bali, mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama
pengamat dan aktivis. Menurut penulis Paket Bali hanya menguras dan
memeras serta tidak memberikan keuntungan bagi petani Indonesia.
Pertanian yang menjadi isu panas di WTO, adalah penjualan hak atas
pangan bagi jutaan rakyat di seluruh penjuru dunia yang menderita
malnutrisi dan kelaparan. Selain itu Paket Bali tak berubah dari
upaya-upaya penghisapan sumber daya alam bagi negara-negara dunia ketiga
termasuk Indonesia. Kebijakan liberalisasi perdagangan selama
keberadaan WTO sejak tahun 1995, telah mengancurkan sistem pangan dan
suplai pangan nasional kita.
Kerisauan atas kondisi petani Indonesia tentu sangat beralasan,
mengingat selama ini negara-negara maju dengan segala upaya terus
menggerogoti ketahananan pangan dan menjajah pertanian Indonesia. Hal
itu dilakukan melalui beragam cara, melalui teknologi pertanian,
pembatasan ruang gerak pertanian Indonesia dan lain sebagainya.
Akibatnya, pertanian Indonesia sejak 15 tahun belakangan benar-benar
mengalami kemunduran yang sangat jauh. Implikasi dari liberalisasi
sektor pertanian, Indonesia terus mengimpor beras, kedelai, jagung, ubi,
bawang, cabai, buah-buahan dan bahkan garam diekspor. Bahkan banyak
pihak yang menyindir pemerintah dengan memperkirakan jika pemerintah
Indonesia tidak menyikapi persoalan pertanian ini dengan serius, bisa
jadi ke depan Indonesia juga akan mengimpor jengkol, petai dan lainnya.
Selain itu, kesepakatan KTM WTO Bali 2013 adalah Kenaikan subsidi
pertanian dari 10% menjadi 15% hanya berlangsung selama empat tahun,
artinya tahun 2018 mendatang subsidi akan dicabut. Argumentasi sebagian
elit dan ekonom pro-neoliberal di Indonesia, yang mengklaim bahwa agenda
perdagangan bebas berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
rata-rata di atas 5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%, tetapi
apa memberikan kontribusi bagi ekonomi nasional dan rakyat Indonesia?
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak berkorelasi dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi yang didorong oleh liberalisasi investasi dan perdagangan itu
justru memicu perampasan sumber daya milik rakyat oleh korporasi
multinasional.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak berkontribusi
dalam memperkuat struktur ekonomi nasional. Sampai sekarang anggaran
kita terjerembab dalam defisit dan jerat utang (Per November 2013 utang
Indonesia 2.276 Triliun). Sementara sektor pertanian dan industri kita
merosot. Kita makin bergantung pada impor. Lebih jauh liberalisasi
investasi dan perdagangan memicu konflik sumber daya antara korporasi
besar melawan rakyat, pengrusakan lingkungan, dan korupsi.
Dengan disetujuinya paket Bali, upaya untuk menghapuskan kelaparan dan
kemiskinan semakin jauh dari harapan.
Pada
tahun 1995, saat WTO baru berdiri, angka kelaparan di dunia mencapai
825 juta jiwa. Namun, saat ini angka kelaparan dunia sudah mencapai 1
milyar jiwa. Sebagian besar berada di Asia termasuk Indonesia.Hak atas
pangan adalah hak asasi setiap manusia di atas muka bumi ini, namun
Paket Bali menghalangi realisasi hak tersebut dengan mengangkangi
kedaulatan rakyat melalui perjanjian WTO, dan Pemerintah Indonesia
adalah salah satu aktor utama yang memuluskan strategi kotor tersebut.
Penulis juga tidak setuju mengenai “peace clause” yang diklaim pihak WTO
sebagai kemajuan dalam Paket Bali. Menurut penulis, memang benar bahwa
isi dalam “peace clause” membolehkan subsidi pertanian, tapi sebenarnya
hal ini hanyalah kelicikan terselubung, karena intinya negosiasi ini
ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan, yang akan terus
meliberalisasi sektor luas di negara berkembang. Peace clause, itu
pembodohan publik. Misalnya begini, kita ingin mensubsidi satu komoditas
pertanian kita, hal itu harus ditukar dengan pembukaan pasar kita
seluas mungkin dengan menghilangkan tarif impor. Ini adalah omong kosong
karena seharusnya negara tak perlu memohon kepada WTO untuk menjamin
hak atas pangan rakyatnya. Pangan dan pertanian tidak bisa diatur dalam
rezim perdagangan bebas.
Menurut penulis, fasilitas perdagangan bebas WTO adalah usul negara maju
untuk mendorong ekspansi pasar guna menyelamatkan ekonomi mereka
yangterus stagnan. Meskipun penulis tidak menampik pentingnya
perdagangan dalam perekonomian global, tetapi harus berkeadilan. Data
dari World Trade Report 2013, menyebutkan bahwa 80% ekspor AS dikuasai
oleh 1 perusahaan besar, 85% ekspor Eropa ada di tangan 10 eksportir
besar dan 81% ekspor terkonsentrasi pada 5 perusahaan ekspor di negara
berkembang. Subsidi Terus Berkurang
Secara substantif, pertemuan WTO kali ini bertujuan menyelesaikan
sebagian isu kunci dalam Putaran Doha, masing-masing: Trade
Facilitation, LDCs package, dan Agriculture. Ketiga isu tersebut
selanjutnya disebut Paket Bali. Dalam perkembangannya, Paket Bali tidak
memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang dan kurang
berkembang. Sebab melalui ketiganya, arus barang dan jasa dari negara
maju akan lebih mudah masuk ke negara berkembang dan kurang berkembang,
termasuk ke Indonesia. Bahkan negara berkembang terancam kehilangan
kesempatan meningkatkan produksi pangan domestiknya setelah negara maju
menolak proposal pemberian subsidi bagi kepentingan Public Stockholding
dan Food Security yang diusulkan oleh negara Kelompok 33, termasuk
Indonesia.
Jauh sebelumnya, berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi
pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program)
cenderung mengalami penurunan. Seperti yang terlihat pada penurunan
alokasi subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011
menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah
mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya
subsidi non energi, justru alokasinya ikut mengalami penurunan dari 5,3%
menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi
di tahun 2010 sebesar 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi
minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu. Hal ini
sangat berkorelasi dengan agenda WTO yang melakukan penghapusan terhadap
subsidi domestik. Pemerintah telah melakukan beberapa pengurangan
subsidi, bahkan menghapus beberapa subsidi untuk rakyat sejak tahun
2008. Hal ini mengakibatkan impor bahan baku seperti kedelai, beras, dan
lain-lain semakin merajalela hingga menyebabkan rapuhnya perekonomian
nasional kita.
Non Energi, 2005-2013Berbeda dengan Indonesia, negara-negara maju justru
terus memperbesar subsidi di sektor pertaniannya. Sebagai ilustrasi, di
2010 saja, subsidi pertanian di Amerika Serikat mencapai US$ 130
miliar. Begitupun di Uni Eropa, yang memberikan subsidi mencapai US$ 106
miliar di 2009. Sedangkan India, subsidi pertaniannya hanya Rp212
triliun per tahun. Indonesia cuma Rp.143 triliun per tahun. Begitulah
Negara-negara maju menghancurkan pertanian Indonesia dan negara-negara
berkembang lainnya, melalui berbagai organisasi dunia.
Pengurangan subsidi domestik sejalan dengan berlangsungnya kebijakan
harmonisasi tarif, berupa penurunan tarif bea masuk Most Favoured Nation
(MFN) yang sejalan dengan prinsip WTO untuk memudahkan arus impor
barang dan jasa ke Indonesia. Kebijakan Harmonisasi Tarif Bea Masuk
Indonesia Tahun 2005-2010 telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.010/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010.
Akibatnya, Selama periode 2005–2010 perkembangan rata-rata tarif bea
masuk MFN semakin menurun, dari 9,9 persen tahun 2005 menjadi 7,5 persen
pada tahun 2010. Dampak kebijakan ini secara jelas terlihat dari
menurunnya potensi penerimaan pajak bea masuk perdagangan internasional
dalam anggaran negara.
Kebijakan
pertanian versi WTO itu membawa malapetaka bagi pertanian Indonesia.
Pertama, produksi pangan nasional terus merosot. Bentuk usaha tani tidak
lagi sanggup mensejahterakan petani. Akibatnya, banyak petani yang
meninggalkan pekerjaannya. Yang paling ironis, 60% penerima program
raskin di seluruh Indonesia adalah petani. Kedua, Indonesia semakin
bergantung pada impor. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia
didapatkan melalui impor: impor impor gandum (100 persen), kedelai (78
persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen),
dan bawang putih (95 persen).
Indonesia sebetulnya adalah korban paling mengerikan dari agenda WTO.
Namun ironisnya, tidak seperti India dan negara-negara Amerika Latin,
Indonesia justru seolah-olah tidak sadar sebagai korban. Malahan, dalam
konteks pertemuan puncak WTO di Bali, pemerintah Indonesia justru ingin
tampil seolah-olah sebagai penyambung lidah negara-negara maju untuk
memaksakan kesepakatan antar negara-negara anggota WTO. Hal itu terlihat
ketika India bersikeras menaikan subsidi sektor pertanian dari 10%
menjadi 15% , Indonesia tidak berani berpihak kepada India. Artinya,
Indonesia berupaya keras menyukseskan agenda WTO, dibawa kendali Amerika
Serikat dan sekutunya yang sebetulnya sudah mandek sejak kegagalan
Putaran Doha tahun 2001 lalu dan Putaran Jenewa, Swiss Bulan November
tahun 2011.
Inilah yang sebetulnya sangat ironis. Di saat masing-masing negara
berjuang untuk kepentingan nasionalnya di forum WTO, pemerintah
Indonesia justru seperti hilang ingatan. Pemerintah Indonesia terlihat
sama sekali tidak ada itikad politik membela kepentingan puluhan juta
petaninya yang menjadi korban agenda liberalisasi impor pangan dan
penghapusan subsidi pertanian. Pemerintah Indonesia juga tidak peduli
dengan nasib industri nasionalnya yang tergilas oleh liberalisasi
perdagangan.
Jalan Keluar Bagi penulis penolakan terhadap WTO merupakan pertempuran
antara kemanusiaan melawan keserakahan/ketamakan perusahaan multi
transnasional yang ingin terus mengekspansi pasar negara-negara
berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, penerapan kedaulatan
pangan di tiap negara adalah jawabannya. Keluarkan WTO dari pertanian.
Lima alasan mengapa Indonesia harus keluar dari WTO.
Pertama, agenda ekonomi WTO telah merampas kedaulatan ekonomi Indonesia.
Liberalisasi impor pangan berdampak akut terhadap hancurnya produksi
pangan lokal. Akibatnya, selama satu dekade terakhir kita makin
bergantung pada pangan impor. Selanjutnya liberalisasi perdagangan
tersebut, telah menghancurkan industri nasional. Dalam satu dekade
terakhir Indonesia mengalami fenomena “de-industrialisasi”. Kedua,
agenda WTO merampas kedaulatan politik Indonesia. misalnya dengan
banyaknya produk Undang-Undang dan kebijakan politik pemerintah yang
tunduk atau didiktekan oleh WTO. Kalau mau jujur, UU pangan itu sama
persis dengan apa yang menjadi kesepakatan WTO di sektor pertanian
(AoA). Padahal, UU itu jelas-jelas mengangkangi konstitusi kita. Contoh
lainnya adalah lahirnya Permendag nomor 16 tahun 2013 yang merevisi
Permendag sebelumnya. Intinya, pada Permendag baru ini ada 18 produk
buah/sayur Indonesia yang dilepaskan dari kebijakan pengetatan impor.
Permendag itu lahir karena gugatan AS di Badan Sengketa WTO. Padahal,
pengetatan impor itu untuk melindungi kepentingan petani kita demi
menjamin ketersediaan produksi buah/sayur lokal. Ketiga, keanggotaan
Indonesia di WTO justru merusak garis politik luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif. Dalam forum negosiasi WTO, posisi Indonesia cenderung
menjadi kaki tangan bagi kepentingan negara imperialis dan korporasi
multi/trans nasional. Keempat, agenda ekonomi yang diusung WTO sangat
bertolak-belakang dengan konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945.
Semangat filosofis pasal 33 UUD 1945 sangat menentang liberalisme
ekonomi, sementara agenda ekonomi WTO sangat mendorong pada liberalisasi
ekonomi. Dalam pasal 33 UUD 1945, ada keharusan agar negara mengambil
peranan dalam mengorganisir perekonomian agar mendatangkan kemakmuran
bagi rakyat sedangkan agenda WTO menghendaki pemerintah memfasilitasi
untuk melepasnya.
Pemerintah harus segera menghentikan pengurangan subsidi bagi rakyat
miskin, mengubah orientasi kebijakan anggaran negara yang lebih
mencerminkan keberpihakan pada pembangunan sektor pertanian, kelautan
dan perikanan, dan pengembangan industri nasional. Kebijakan anggaran
negara juga harus mendukung penguatan kelembagaan ekonomi rakyat seperti
koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Penulis:
Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.
0 comments:
Post a Comment