Tuesday, 9 June 2015

HIDUP DIANTARA TEROR KEKERASAN VISUAL


Jika sampah adalah segala hal yang mengganggu kenyamanan kita , maka Makassar dapat dikatakan lebih mirip Kota sampah dibandingkan dengan kota dunia. Anda dapat melihatnya dengan jelas dari tanahnya, airnya, maupun udaranya. Kemanapun anda menghadapkan wajah anda, maka disitu ada sampah. Salah satu sampah yang paling mengganggu kenyamanan masyarakat kota adalah sampah-sampah visual seperti papan reklame, spanduk, baligho, dan poster-poster. 

 
Setiap ruang sampai sudut kota seperti dijarah oleh sampah-sampah visual tersebut. Ruang publik yang ada di kota Makassar lebih mirip dengan medan perang. Disanalah peperangan yang hebat terjadi antara beberapa golongan. Disanalah pelaku-pelaku pasar berkompetisi melalui iklan-iklanya di papan reklame, para politisi memperebutkan kekuasaan melalui baligho-balighonya, serta para pelaku media massa mengatur lalu lintas opini publik.
Pelaku pasar sangatlah mengganggu kenyamanan publik secara sosial dengan jargon-jargon seperti “harga murah”, “cepat beli”, dan “diskon” yang tertera dalam berbagai iklan-iklannya.. Deretan iklan itu seperti terus-menerus mengganggu kita agar terus-menerus berbelanja dan selalu mengajak kita untuk cenderung berprilaku dengan konsumtif. Sementara itu, para politisi menjual citra dirinya dengan berbagai program yang “katanya” mengabdi kepada kepentingan publik. Mereka mendirikan baligho-baligho tinggi, memaku pepohonan, serta memasang spanduk-spanduk panjang untuk memperlihtkan citra dirinya itu.
Kemanapun kita pergi, kumpulan iklan-iklan, spanduk, baligho, poster, dan reklame itu menjadi teror tersendiri dalam aktivitas keseharian kita. Benda-benda itu layaknya sebuah terror visual yang mengikuti anda kemana-mana. Tak ayal lagi benda-benda itu seperti mengendalikan keseharian kita dan mengatur kemana kita harus belanja, kemana kita bisa membeli ini, dan kemana kita dapat membeli itu. Sepertinya tak banyak ruang lagi yang tersisa bagi kepentingan publik.
* * *
Masyarakat selalu menjadi korban dari peperangan oleh benda-benda itu. Mereka secara tak sadar terbujuk oleh ekspresi-ekspresi yang ada pada tumpukan-tumpukan sampah visual itu. Itulah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “Kekerasan Simbolik”, dimana ekspresi-ekspresi yang tampak pada benda-benda itu menjadi media dikte bagi segolongan orang seperti pelaku pasar dan politisi untuk membentuk persepsi-persepsi masyarakat. Tampakan-tampakan itu membuat klasifikasi, kategorisasi, defenisi serta referensi sosial tertentu yang sesuai dengan kepentingan kelompok dominan dan elite. Dan tentu saja posisi-posisi dominan dalam masyarakat selalu diduduki oleh pelaku pasar serta elit politik
Mental-mental masyarakat menjadi kacau balau akibat penampakan-penampakan yang sangat mengganggu kondisi kejiwaan. Masyarakat mengkonsumsi hampir semua yang tampak didepan mereka tanpa disadari. Mereka masuk kedalam dunia “Hiperrealitas” seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrilard, dimana masyarakat mabuk kedalam dunia dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi sangat kabur. Mereka mengkonsumsi jargon-jargon iklan, janji-janji politisi, serta tampakan-tampakan dominan yang mereka saksikan dengan mentah-mentah, padahal semuanya hanyalah kepalsuan.
* * *
Disisi lain, hanya sedikit sekali dari benda-benda itu yang memuat tentang pelayanan publik. Yang paling sering kita dapatkan hanyalah tentang bagaimana membayar pajak-pajak serta retribusi-retribusi yang wajib kita setor kepada pemerintah. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah kota sepertinya tidak terlalu menyayangi rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ruang selalu mengisyaratkan bahwa pajak-pajak hasil iklan lebih diutamakan ketimbang layanan-layanan bagi masyarakat sehingga kita bisa saja menarik kesimpulan bahwa pemerintah kota lebih menyayangi mereka daripada kita.
Tentu saja masyarakat kita juga menjadi sedikit rabun terhadap fasilitas serta layanan-layanan pemerintah bagi rakyatnya karena tak ada rambu dan petunjuk yang mereka dapatkan dalam kehidupan kesehariannya. Petunjuk yang mereka dapatkan hanyalah petunjuk-petunjuk yang didiktekan oleh pasar serta asumsi-asumsi para politisi yang mengikuti mereka kemana-mana. Masyarakat lama-kelamaan bisa saja mengalami kebutaan permanen terhadap layanan pemerintah jika tak mendapat petunjuk sama sekali.
Benda-benda itu sama sekali tak mengabdi kepada kebaikan masyarakat kota secara luas dan cenderung menguntungkan para pelaku pasar dan penjual kekuasaan. Semoga pemerintah dan rakyatnya tidak ikut-ikutan menjadi sampah, jika kita sepakat bahwa semua sampah adalah apapun yang mengganggu kepentingan publik.
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 6 Juni 2015

3 comments: