Jika sampah adalah segala hal yang mengganggu
kenyamanan kita , maka Makassar dapat dikatakan lebih mirip Kota sampah
dibandingkan dengan kota dunia. Anda dapat melihatnya dengan jelas dari
tanahnya, airnya, maupun udaranya. Kemanapun anda menghadapkan wajah anda, maka
disitu ada sampah. Salah satu sampah yang paling mengganggu kenyamanan
masyarakat kota adalah sampah-sampah visual seperti papan reklame, spanduk, baligho,
dan poster-poster.
Setiap ruang sampai sudut kota seperti
dijarah oleh sampah-sampah visual tersebut. Ruang publik yang ada di kota
Makassar lebih mirip dengan medan perang. Disanalah peperangan yang hebat
terjadi antara beberapa golongan. Disanalah pelaku-pelaku pasar berkompetisi
melalui iklan-iklanya di papan reklame, para politisi memperebutkan kekuasaan
melalui baligho-balighonya, serta para pelaku media massa mengatur lalu lintas
opini publik.
Pelaku pasar sangatlah mengganggu kenyamanan
publik secara sosial dengan jargon-jargon seperti “harga murah”, “cepat beli”,
dan “diskon” yang tertera dalam berbagai iklan-iklannya.. Deretan iklan itu
seperti terus-menerus mengganggu kita agar terus-menerus berbelanja dan selalu
mengajak kita untuk cenderung berprilaku dengan konsumtif. Sementara itu, para
politisi menjual citra dirinya dengan berbagai program yang “katanya” mengabdi
kepada kepentingan publik. Mereka mendirikan baligho-baligho tinggi, memaku
pepohonan, serta memasang spanduk-spanduk panjang untuk memperlihtkan citra
dirinya itu.
Kemanapun kita pergi, kumpulan iklan-iklan,
spanduk, baligho, poster, dan reklame itu menjadi teror tersendiri dalam
aktivitas keseharian kita. Benda-benda itu layaknya sebuah terror visual yang
mengikuti anda kemana-mana. Tak ayal lagi benda-benda itu seperti mengendalikan
keseharian kita dan mengatur kemana kita harus belanja, kemana kita bisa
membeli ini, dan kemana kita dapat membeli itu. Sepertinya tak banyak ruang
lagi yang tersisa bagi kepentingan publik.
* * *
Masyarakat selalu menjadi korban dari peperangan
oleh benda-benda itu. Mereka secara tak sadar terbujuk oleh ekspresi-ekspresi
yang ada pada tumpukan-tumpukan sampah visual itu. Itulah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “Kekerasan Simbolik”, dimana
ekspresi-ekspresi yang tampak pada benda-benda itu menjadi media dikte bagi
segolongan orang seperti pelaku pasar dan politisi untuk membentuk persepsi-persepsi
masyarakat. Tampakan-tampakan itu membuat klasifikasi, kategorisasi, defenisi
serta referensi sosial tertentu yang sesuai dengan kepentingan kelompok dominan
dan elite. Dan tentu saja posisi-posisi dominan dalam masyarakat selalu
diduduki oleh pelaku pasar serta elit politik
Mental-mental masyarakat menjadi kacau balau
akibat penampakan-penampakan yang sangat mengganggu kondisi kejiwaan. Masyarakat
mengkonsumsi hampir semua yang tampak didepan mereka tanpa disadari. Mereka
masuk kedalam dunia “Hiperrealitas”
seperti yang dikatakan oleh Jean
Baudrilard, dimana masyarakat mabuk kedalam dunia dimana yang nyata dan
yang tidak nyata menjadi sangat kabur. Mereka mengkonsumsi jargon-jargon iklan,
janji-janji politisi, serta tampakan-tampakan dominan yang mereka saksikan
dengan mentah-mentah, padahal semuanya hanyalah kepalsuan.
* * *
Disisi lain, hanya sedikit sekali dari
benda-benda itu yang memuat tentang pelayanan publik. Yang paling sering kita
dapatkan hanyalah tentang bagaimana membayar pajak-pajak serta
retribusi-retribusi yang wajib kita setor kepada pemerintah. Hal itu sebenarnya
menunjukkan bahwa pemerintah kota sepertinya tidak terlalu menyayangi
rakyatnya. Kebijakan-kebijakan ruang selalu mengisyaratkan bahwa pajak-pajak
hasil iklan lebih diutamakan ketimbang layanan-layanan bagi masyarakat sehingga
kita bisa saja menarik kesimpulan bahwa pemerintah kota lebih menyayangi mereka
daripada kita.
Tentu saja masyarakat kita juga menjadi
sedikit rabun terhadap fasilitas serta layanan-layanan pemerintah bagi
rakyatnya karena tak ada rambu dan petunjuk yang mereka dapatkan dalam
kehidupan kesehariannya. Petunjuk yang mereka dapatkan hanyalah petunjuk-petunjuk
yang didiktekan oleh pasar serta asumsi-asumsi para politisi yang mengikuti
mereka kemana-mana. Masyarakat lama-kelamaan bisa saja mengalami kebutaan
permanen terhadap layanan pemerintah jika tak mendapat petunjuk sama sekali.
Benda-benda itu sama sekali tak mengabdi
kepada kebaikan masyarakat kota secara luas dan cenderung menguntungkan para
pelaku pasar dan penjual kekuasaan. Semoga pemerintah dan rakyatnya tidak
ikut-ikutan menjadi sampah, jika kita sepakat bahwa semua sampah adalah apapun
yang mengganggu kepentingan publik.
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 6 Juni 2015
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 6 Juni 2015
suka ku tulisan ta kandakuu
ReplyDeletesuka ku tulisan ta kandakuu
ReplyDeleteHahaha.. Makasih bro Malik
ReplyDelete