Adalah Alfred
Russel Wallace (1823 – 1913), seorang ilmuwan dalam bidang biologi dan
Botani yang suka menjelajah dan mengembara. Salah satu tempat persinggahan
Wallace adalah Nusantara. Selama beberapa tahun di Nusantara, Wallace banyak mengumpulkan
data tentang aneka macam flora dan fauna yang tersebar diseluruh penjuru
Nusantara. Garis Wallace yang kelak kita kenal adalah hasil temuannya begitupun
dengan julukan “Kingdom of Butterfly” adalah nama yang diberikan oleh Wallace
kepada Bantimurung Bulusaraung selama meneliti disana.
Pekerjaan yang dilakukan Wallace adalah
pekerjaan yang sangat sederhana yaitu mencatat temuan-temuannya dari berbagai
sumber yang kemudian dia kirim ke negara asalnya di tanah Brittania. Bagi
Wallace mencatat adalah pekerjaan yang sangat mulia. Hasil catatan-catatan dari
Wallace dikemudian hari menginspirasi Charles
Darwin untuk mencetuskan teori Evolusi.
Jared
Diamond dalam bukunya Guns, Germs, and Steel, menunjukkan
bahwa salah satu penemuan terbaik dalam sejarah umat manusia adalah Aksara dan
Tulisan. Kegiatan catat mencatat telah memberikan umat manusia arah sejarah
baru. Sebelum Wallace Kita mungkin mengenal Marco Polo, Christoper Colombus,
Barthomoleus Diaz, dan Ibnu Batutah yang telah memberikan “Catatan” kepada
Belanda, Portugis, Arab, Persia dan Gujarat betapa berharganya Nusantara.
***
Mencatat bukanlah pekerjaan yang kecil. Lupa
dan lalai dalam mencatat akan menyebabkan masalah yang sangat besar. Maka tidak
heran apabila seorang sekretaris, bendahara, dan akuntan diharuskan untuk
mencatat secara detail dan terperinci. Saya baru paham mengapa sebelum
penelitian, Dosen Pembimbing membelikan sebuah buku yang khusus berisi catatan
segala data dan fakta yang saya temukan dilapangan. Akibatnya pun sangat fatal.
Karena saya mengabaikan beberapa data, akhirnya penelitian saya sedikit
amburadul padahal saya hanya lupa mencatat kapan petani menanam tanaman
kedelainya dan berapa dosis pestisida yang dia aplikasikan untuk tanaman
kedelainya.
***
Adalah kabar yang sangat menyedihkan ketika
saya medengar bahwa merk dagang “Kopi Toraja” telah di patenkan oleh sebuah
Perusahaan Jepang. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi kita karena Petani tak
bisa lagi mengimpor kopi dengan merk dagang “Kopi Toraja”. Adalah Key Coffe
perusahaan Jepang yang telah mempatenkan merk dagang “ Kopi Toraja” sejak tahun
2005. Persoalannya sangatlah sederhana, yaitu kita lupa “mencatat” dan
melakukan “sertifikasi” terhadap tanaman-tanaman kita. Seperti yang dilansir
oleh Media Lokal Makassar bahwa setelah mendengar kabar tersebut barulah
pemerintah Sul-Sel giat melakukan sertifikasi terhadap tanaman kopi.
Pemerintah kita seharusnya sejak dulu melakukan
pencatatan dan sertifikasi terhadap tanaman-tanaman yang dikembangkan oleh
petani kita. Pemerintah kita harus belajar kepada kasus tanaman Kunyit yang
dipatenkan oleh Jerman, serta Temulawak yang telah dipatenkan oleh Amerika
Serikat. Hal ini tentu pukulan telak bagi kita semua bagaimana Kopi Toraja yang
terkenal dengan sebutan”Queen of Coffe” nyatanya kini diklaim dan dipatenkan
sebagai milik perusahaan asing.
Saya membayangkan suatu saat nanti Kelak kita
akan meminum “Kopi Toraja” bukan sebagai kopi yang dikembangkan petani kita,
namun sebagai Kopi Impor dari Jepang. Saya juga membayangkan bahwa suatu hari
nanti tanaman-tanaman yang dikembangkan oleh nenek moyang kita akan datang
kembali menjajah dan juga memarahi kita karena kita lupa menjaganya. Dan
tentunya suatu hari nanti kita akan membeli produk-produk pangan yang telah
kita jaga selama berabad-abad dengan harga yang lebih mahal dengan status
“Barang Impor”. Dengan sebuah alasan yang cukup sedehana “ kita lupa
mencatatnya dan menjaganya sebagai milik kita”.
Wallace telah menunjukkan bahwa kegiatan catat-mencatat
mampu melahirkan sejarah yang besar. Mungkin hal ini berbanding lurus dengan jumlah
Restoran-restoran asing dan Restoran Cepat Saji yang kian menjamur yang membuat
kita semakin lupa bagaimana Produk pertanian lokal petani kita.
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 4 April 2015
Tulisan ini dimuat dalam Rubrik "LITERASI" Koran Tempo
Edisi 4 April 2015
0 comments:
Post a Comment