Tuesday, 9 June 2015

SEJARAH GATT SAMPAI BERTRANSFORMASI MENJADI WTO

Pada akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah menjadi suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan oleh semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme perdagangan yang mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk saling menjalin kerjasama perdagangan antar satu dan lainnya.Kompleksitas dan makin dinamisnya perdagangan dan moneter internasional membentuk suatu gagasan pendirian suatu organisasi perekonomian yang mendaulati terbentuknya International Monetary Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan khusus yakni General Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang berfokus menyelesaikan dan mengatur persoalan perdagangan. Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan International Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3 (tiga) kerangka Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya adalah International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank. GATT sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan menjadi isi dari Havana Charter mengenai pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial Policy. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah sebagai suatu persetujuan internasional yang mengatur mengenai tarif tarif perdagangan yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan pada tahun 1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai perdagangan internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta diskriminasi dalam perdagangan internasional tersebut.Namun, GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa yang terjadi saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat ad-hoc yang diusung oleh rezim tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim tersebut terdapat adanya perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan kompetitifitas yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui kebijakan negara lain. Karena rezim ini berprinsip most favored nations (MFN). Namun International Trade Organization (ITO) tidak berhasil didirikan, walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat menolak untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat khawatir wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat semakin berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application sampai Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana GATT adalah Committee-ITO/GATT yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. 

Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah: • Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. • Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang menangani masalah perdagangan • Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan. Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995. Disebapkan rezim GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa, pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO atau World Trade Organization yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalamUruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau World Trade Organization ini diharapkan mampu memperlancar arus perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota rezim tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade Organization ini, negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena rezim ini didominasi oleh negara – negara barat yang mampu merealisasikan interest mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut (Ford 2002). Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan oleh WTO: 
 Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas perdagangan. 
 GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu. 
 Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota. 

Akan tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan antara lain: 1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir, negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya suatu bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang. Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT yang menetapkan penurunan 45.000 jenis tarif dengan nilai 10 miliar dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara. 2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini, telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33 negara. 3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi 5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara. 4. 1955-1956: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang diselenggarakan di Kota Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang lebih dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa, putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara. 6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati penurunan sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40 miliar dolar AS dan kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara. 7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”, Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155 miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara. 8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este. Perundingan kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan non-tarif sejumlah komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa dalam perdagangan dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan aktifnya dalam putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa Indonesia harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke arah strategi orientasi ekspor. 9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal, Kanada telah diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai Mid-Term Ministerial Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin yang telah dicapai dalam perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut telah dicapai kemajuan pada 11 bidang kecuali pertanian. Dalam periode ini, Indonesia mulai memainkan peranan aktifnya dalam Putaran Uruguay. 10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989 untuk meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran sebelumnya yang deadlock pada masalah pertanian. 11. 1990: Pada bulan Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan sidang tingkat menteri. Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan apapun, karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama menolak untuk meratitikasi bidang pertaniannya. Dengan demikian, perundingan pada semua bidang mencapai deadlock. 12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat Jenderal GATT selalu ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada tingkat pejabat tinggi telah menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil akhir dari Uruguay Round. 13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992, TNC bersidang untuk menampung reaksi negara-negara peserta dan menentukan langkah selanjutnya dalam perundingan. Negara-negara perserta menyatakan kesulitannya untuk menerapkan DFA pada berbagai bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi pertanian dan sistem proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam perundingan yang berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan antara lain; tariff dan non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual (hak cipta), komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam periode ini juga telah disepakati untuk membentuk kerangka kerja WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT. Pada tanggal 14 Desember 1993, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mulai membuka akses pasar secara bertahap pada sector telekomunikasi, industri, angkutan laut, turisme dan jasa keuangan. 14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket yang ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan WTO. Sementara dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi dengan DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga Indonesia siap memberlakukan kewajiban perjanjian sesuai ketentuan dalam perjanjian tersebut, antara lain; perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, perdagangan jasa, turisme, telekomunikasi, dan beberapa sektor lain. Perubahan GATT menjadi WTO membawa fase baru.WTO menjadi suatu badan yang mengurusi perdagangan dunia lebih kompleks dan efektif dibanding GATT.WTO memberikan fokus yang besar bagi perdagangan seluruh sektor, termasuk barang dan jasa. Selain itu WTO juga terdiri dari anggota yang tetap , dimana keanggotaan suau negara melibatkan keputusan dari parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan status WTO yang sebagai organisasi internasional.Sebagai suatu organisasi internasional, WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi.Hal ini kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh negara- negara anggota serta perdagangan internasional. Dalam stuktur organisasinya, WTO terdiri dari direktur jendral, deputi direktur jendral, dan sekretariat yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet, 2003). Aktivitas WTO sendiri, meliputi pengadaan pertemuan antara perwakilan negara anggota dengan agenda meregulasi kembali sistem perdagangan yang ada. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO disini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang dipegang oleh WTO, membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki kapasitas lebih dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara.

WTO merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan internasional untuk meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara anggotanya. Hingga saat ini WTO beranggotakan 160 negara.Jumlah ini telah mewakili sebanyak 97% perdagangan yang ada di dunia.Dua pertiga dari jumlah keseluruhan negara anggota WTO terdiri dari negara berkembang.Status negara berkembang sendiri ditentukkan oleh masing- masing negara bukan oleh WTO ataupun negara anggota lainnya.Proporsi ini kemudian berkaitan dengan sistem pemngutan suara yang diterapkan oleh WTO. WTO menerapkan prinsip konsensus, melalui pemungutan suara atau voting. Sistem voting yang ada didasrkan pada persentase keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, adalah Amerika Serikat yang memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara (Peet, 2003). Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus mengundang pro dan kontra dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan bahwa WTO merupakan organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran perekonomian kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas dalam lingkaran kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung liberalisme perdagangan dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan pada negara- negara maju saja, dan tidak menghiraukan negara berkembang. Prinsip keadilan perdagangan (fair-trade) dinilai hanya adil bagi negara maju saja, tidak bagi negara miskin dan berkembang. Keadilan berlaku bagi negara- negara yang menerapkan perekonomian bebas, seperti yang tercantum dalam asas liberalisme ekonomi. Kritik lain juga menyebutkan mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan oleh WTO dengan kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi pada Meksiko, dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak sebanyak perdagangan yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan yang mendapatkan banyak keuntungan walaupun sedikit melakukan kegiatan perdagangan dan tidak mendapat investasi asing yang begitu besar. Perubahan dalam rezim perdagangan internasional tersebut dapat dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama, pendekatan tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat negara dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah dalam fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini menyebabkan peran negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding dengan negara bermateri lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjelaskan peran negara berkembang dalam memperkuat rezim perdagangan internasional multirateral tersebut.Serta pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut serta berpengaruh dalam perubahan agen melalui tindakan dan struktur interaksi yang didasari oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor (Ford 2002).Kedua, pendekatan strukturalis.Pendekatan ini berpendapat bahwa negara hegemon memiliki kekuatan besar dalam perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan bahwa perubahan rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai kepentingan nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis mengungkapkan bahwa kapitalisme global sebagai pendukung rezim perdagangan internasional. Negara hegemon berusaha mati-matian untuk memperoleh kepentingan mereka, namun ia mengorbankan negara lain dengan kedok kemaslahatan bersama atau universal. Inilah yang menjadi kelemahan pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan neoliberalisme.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat negara dan sebagai ekspresi dari kepentingan negara tersebut.Kepentingan negara yang dimaksud oleh pendekatan neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang menciptakan rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan norma yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan lain-lain. Sehingga negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim tersebut kurang terealisasikan kepentingan nasionalnya. Jadi, rezim perdagangan internasional adalah sebuah distribusi ide secara kolektif mengenai perdagangan internasional yang mengatur mengenai perilaku dalam perdagangan bebas tersebut serta menjelaskan mengenai peran negara sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari rezim perdagangan internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade, menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa perdagangan internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi barang-barang ke berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perubahan dalam rezim internasional tersebut pasti memiliki kelemahan.Karena setiap pendekatan dalam Hubungan Internasional bersifat pelengkap kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebelumnya dengan sudut pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan tersebut sehingga menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam Hubungan Internasional. Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay, maka pada tanggal 1 Januari 1995 di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues, antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komiditas tekstil, produk pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu: 
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, 
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, 
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; 
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan 
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. 

Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki alat untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya. Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran perundingan perdagangan multilateral yakni Jenewa 1 Januari 1995, Singapura, 9 - 13 Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei 1998, Seattle, 30 November - 3 Desember 1999, Doha, 9 - 13 November 2001, Cancun, 10 - 14 September 2003, Jenewa, 30 November - 2 Desember 2009, Jenewa, 15-17 Desember 2011 dimana putaran perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha Round prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun. Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak 1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu Putaran Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade; Anti Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama kali dibahas dalam GATT. Pada Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuan-persetujuan perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights, penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade Organization (WTO). 

Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya. Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya: dibidang HAKI, ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO, menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO.

Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut, antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya. Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal.

Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan Desember 2011, maka waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya. Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud.Dari sudut pandang tersebut, tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia - meskipun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan bebas ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini terasa defensif hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political level’.Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali.Kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota. 




Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007.Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa.Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka. Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya, seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada. Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema: 
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO • Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
• Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis (political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO 
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
  Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha. 
Posisi Indonesia Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi PersetujuanPembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaiandevelopment objectives dari DDA.

Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral. Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara. Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draft modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan merubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6 Desember 2008. 

REFERENSI: 
 Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. 
 Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: ELLIPS Project, 1996. 
 Rajagukguk, Erman. Indonesiasi Saham. Cetakan Pertama. Jakarta: Bina Aksara, 1985. 
 Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Cet. Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. 
 Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003. 
 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992.
  Suryana, Agus. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama. Jakarta: Harapan Baru Raya, 2005. 
 Business Guide To Uruguay Round. Cetakan Pertama. Geneva: International Trade Center UNCTAD/WTO (ITC), 1995. 
 Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 1 Tahun 1995 LN Nomor 13, TLN Nomor 3587. 
 Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 LN Nomor 1, TLN No. 2818.
  Undang-Undang Tentang Perubahan dan Tambahan Tentang Undang-Undang Penanaman Modal Asing. UU No. 11 Tahun 1970 LN Nomor 46, TLN Nomor 2943.
  Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to WTO”, International Studies Review, Vol. 4, No. 3, USA: Blackwell Publishing. 
 Abbot, Roderick. 2007. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate publishing company. 
 Peet, Richard. 2003. “The World Trade Organization”, dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, pp. 146-199 

 Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.

2 comments:

  1. blog nha bgus,tapi aku masih ragu berkaitan dengn tgl dan tahunnya,soalnya agak berbeda dengan yg di buku

    ReplyDelete
  2. Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM , Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya curang dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM, Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan Pemberi pinjaman karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Harum kemudian memperkenalkan saya kepada Ny. LASSA JIM, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama ACCESS LOAN FIRM sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu LASSA, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ms. LASSA.
    Saya mengajukan pinjaman 2 milyar rupiah dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan keamanan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya katakan kepada dapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam pinjaman itu disetorkan ke rekening bank saya.
    Saya pikir itu hanya lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah 2 miliar. Saya sangat senang bahwa Tuhan akhirnya menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberi saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati Mrs. LASSA JIM untuk membuat hidup saya lebih mudah, jadi saya sarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LASSA melalui email: lassajimloancompany@gmail.com

    Anda juga dapat menghubungi nomor JIM ibu LASSA whatsApp +1(301)969-1955.

    Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya adalah INDALH HARUM, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: Indalhharum@gmail.com

    ReplyDelete