Parmenides (540-470 SM)
adalah seorang filsuf yang lahir di kota Elea, Italia Selatan. Dia menganut
ajaran Pythagorean, yaitu ajaran yang dibentuk Pythagoras (seorang mistikus)
yang berpendapat bahwa realitas tersusun atas bilangan. Pada usia ke 65 tahun,
dia dan muridnya Zeno berkunjung ke Athena dan bercakap-cakap dengan Sokrates
yang masih muda pada waktu itu.Parmenides
adalah seorang filsuf mazhab Elea. Di dalam Mazhab Elea, Parmenides merupakan
tokoh yang paling terkenal. Pemikiran filsafatnya bertentangan dengan
Heraklitos sebab ia berpendapat bahwa sesuatu “yang ada” tidak berubah.
Inti Utama
dari Pemikiran Parmenides ada 2 Yakni Jalan
Kebenaran dan Jalan Pendapat (Being dan Aletheia) dan
berikut sedikit penjelasan mengenai hal itu :
1.Jalan Kebenaran
Inti utama dari "Jalan Kebenaran" adalah keyakinan
bahwa "hanya 'yang ada' itu ada". Parmenides tidak mendefinisikan apa
yang dimaksud "yang ada", namun menyebutkan sifat-sifatnya. Menurut
Parmenides, "yang ada" itu bersifat meliputi segala sesuatu, tidak
bergerak, tidak berubah, dan tidak terhancurkan. Selain itu, "yang
ada" itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal. Menurut
Parmenides, "yang ada" adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal.
Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Hal itu dapat
dijelaskan melalui pengandaian yang diberikan oleh Parmenides. Pertama, orang
dapat mengatakan bahwa "yang ada" itu tidak ada. Kedua, orang dapat
mengatakan bahwa "yang ada" dan "yang tidak ada" itu
bersama-sama ada. Kedua pengandaian ini mustahil. Pengandaian pertama mustahil,
sebab "yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibicarakan. "Yang tidak ada" tidak dapat dipikirkan dan dibicarakan.
Pengandaian kedua merupakan pandangan dari Herakleitos. Pengandaian ini juga
mustahil, sebab pengandaian kedua menerima pengandaian pertama, bahwa
"yang tidak ada" itu ada, padahal pengandaian pertama terbukti
mustahil. Dengan demikian, kesimpulannya adalah "Yang tidak ada" itu
tidak ada, sehingga hanya "yang ada" yang dapat dikatakan ada.
Untuk lebih memahami pemikiran Parmenides, dapat digunakan
contoh berikut ini. Misalnya saja, seseorang menyatakan "Tuhan itu tidak
ada!" Di sini, Tuhan yang eksistensinya ditolak orang itu sebenarnya ada,
maksudnya harus diterima sebagai dia "yang ada". Hal ini disebabkan
bila orang itu mengatakan "Tuhan itu tidak ada", maka orang itu sudah
terlebih dulu memikirkan suatu konsep tentang Tuhan. Barulah setelah itu,
konsep Tuhan yang dipikirkan orang itu disanggah olehnya sendiri dengan menyatakan
"Tuhan itu tidak ada". Dengan demikian, Tuhan sebagai yang dipikirkan
oleh orang itu "ada" walaupun hanya di dalam pikirannya sendiri.
Sedangkan penolakan terhadap sesuatu, pastilah mengandaikan bahwa sesuatu itu
"ada" sehingga "yang tidak ada" itu tidaklah mungkin. Oleh
karena "yang ada" itu selalu dapat dikatakan dan dipikirkan,
sebenarnya Parmenides menyamakan antara "yang ada" dengan pemikiran
atau akal budi.
Setelah berargumentasi mengenai "yang ada" sebagai
kebenaran, menyatakan konsekuensi-konsekuensinya,
setelah berargumentasi mengenai “yang ada” sebagai kebenaran.
a. Pertama, “yang ada”
adalah satu dan tak terbagi, sedangkan pluralitas tidak mungkin. Hal ini
dikearenakan tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”.
b. Kedua, “yang ada”
tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan. Dengan kata lain, “yang ada”
bersifat kekal dan tak terubahkan. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab
bila “yang ada” dapat berubah, maka “yang ada” dapat menjadi tidak ada atau
“yang tidak ada” dapat menjadi ada.
c. Ketiga, harus
dikatakan bahwa “yang ada” itu sempurna, seperti sebuah bola yang jaraknya dari
pusat ke permukaan semuanya sama. Merurut Parmenides, “yang ada” itu bulat
sehingga mengisi semua tempat.
d. Keempat, karena
“yang ada” mengisi semua empat, maka disimpulkan bahwa tidak ada ruang kosong.
Jika ada ruang kosong, artinya menerima bahwa di luar “yang ada” masih ada
sesuatu yang lain. Konsekuensi lainnya adalah gerak menjadi tidak mungkin sebab
bila benda bergerak artinya benda menduduki tempat yang tadinya kosong.
2.Jalan Pendapat
Buah pemikirannya yang kedua adalah jalan pendapat.
Parmenides mengajarkan konsep doxa (pendapat umum) dan aletheia (kebenaran).
Doxa adalah kebiasaan dan pandangan umum yang kita dengar dan dapatkan dengan
begitu saja. Dia menghendaki agar kita tidak jatuh pada doxa.
Sebaliknya, Parmenides mengajak agar kita berpegang
pada aletheia yang menyandarkan diri pada akal budi semata. Dalam bersikap, dia
mengajarkan agar kita berpikir sendiri dan menemukan kebenaran itu sendiri.
Kita tidak boleh percaya pada gagasan-gagasan umum yang kebenarannya tidak
pasti. Lebih tegas lagi, dia menyatakan kita tidak boleh percaya pada “lidah
dan telinga”.
Parmenides menyatakan kebenaran hanya dapat
diperoleh melalui akal budi semata. Dengan akal budi hendaklah kita menjadi
penguji dan hakim segala sesuatu. Dengan akal budi, kita dapat memperoleh
pengetahuan yang murni dan sejati. Pengetahuan ini mampu menangkap “yang ada”,
yang bersifat tetap, dan tidak berubah di balik pengetahuan indera yang menipu.
Parmenides mengajarkan pentingnya berpikir dan
mengambil sikap tegas yang mandiri terhadap apa yang diyakini oleh umum.
Pemikiran dan sikap demikian menunjukkan bahwa keyakinan umum tidak selalu
benar. Oleh karena itu, kita harus melihat realitas dengan menggunakan akal
budi secara langsung.
Pemikiran Parmenides membuka babak baru dalam sejarah
filsafat Yunani. Dapat dikatakan, dialah penemu merafisika, cabang filsafat
yang menyelidiki “yang ada”. Filsafat di masa selanjutnya akan bergumul dengan
masalah-masalah yang dikemukakan Parmenides, yakni bagaimana pemikiran atau
rasio dicocokkan dengan data-data inderawi. Plato dan Aristeteles adalah
filsuf-filsuf yang memberikan pemecahan untuk masalah-masalah tersebut.
0 comments:
Post a Comment