Pada
akhir Perang Dunia II, dunia perekomian internasional berubah menjadi
suatu entitas yang makin luas dan kompleks.Hal ini disebabkan oleh
semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan liberalisme perdagangan
yang mulai diterapkan oleh beberapa negara maju untuk saling menjalin
kerjasama perdagangan antar satu dan lainnya.Kompleksitas dan makin
dinamisnya perdagangan dan moneter internasional membentuk suatu gagasan
pendirian suatu organisasi perekonomian yang mendaulati terbentuknya
International Monetary Fund (IMF).IMF kemudian membentuk suau badan
khusus yakni General Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang
berfokus menyelesaikan dan mengatur persoalan perdagangan.
Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral
telah mulai dirintis dengan disepakatinya General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana pembentukan
International Trade Organization (ITO), yang merupakan satu dari 3
(tiga) kerangka Bretton Woods Institution. Kedua organisasi lainnya
adalah International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD) yang sering dikenal dengan World
Bank.
GATT sebenarnya hanya salah satu dari IX Chapters yang direncanakan
menjadi isi dari Havana Charter mengenai pembentukan International Trade
Organization (ITO) pada tahun 1947, yaitu Chapter IV: Commercial
Policy.
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah sebagai suatu
persetujuan internasional yang mengatur mengenai tarif tarif perdagangan
yang dirumuskan di Jenewa, Swiss. GATT ini didirikan pada tahun
1948.Pembentukan GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini
dilatar belakangi oleh tidak adanya aturan mengenai perdagangan
internasional sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran serta
diskriminasi dalam perdagangan internasional tersebut.Namun, GATT atau
General Agreement on Tariffs and Trade ini hanya berfokus pada
pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus jasa yang terjadi
saat itu.Hal ini disebabkan oleh sifat ad-hoc yang diusung oleh rezim
tersebut. Namun, dibalik kelemahan rezim tersebut terdapat adanya
perlakuan yang sama pada setiap anggota GATT atau General Agreement on
Tariffs and Trade serta rezim mengusung transparansi dan kompetitifitas
yang mewajibkan setiap negara untuk mengetahui kebijakan negara lain.
Karena rezim ini berprinsip most favored nations (MFN). Namun
International Trade Organization (ITO) tidak berhasil didirikan,
walaupun Havana Charter sudah disepakati dan ditandatangani oleh 53
negara pada Maret 1948.Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat menolak
untuk meratifikasinya di mana Kongres Amerika Serikat khawatir
wewenangnya dalam menentukan kebijakan Amerika Serikat semakin
berkurang. GATT kemudian dimasukkan hanya sebagai perjanjian sementara
(interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application sampai
Havana Charter dapat diberlakukan dan sebagai badan pelaksana GATT
adalah Committee-ITO/GATT yang dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal.
Memperhatikan
perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan
internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya
beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan
kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul
pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk
mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula
untuk menjamin agar negara-negara peserta (Contracting parties) GATT
mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay
Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang pembentukan
suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit
termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah
satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi
mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak
dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah:
• Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan
perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi
terhadap sistem perdagangan internasional.
• Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai
suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang
menangani masalah perdagangan
• Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam
pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan
organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter
dan keuangan.
Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan
konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang
diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri
Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April
1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya
WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh
negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari
1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri
di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah
suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee yang bertugas
antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan
kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14
November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran
Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan
sejak sistem multilateral terbentuk tahun
1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang
kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995.
Disebapkan rezim GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade ini
hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus
jasa, pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya
perubahan dalam rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT atau
General Agreement on Tariffs and Trade secara resmi berubah menjadi WTO
atau World Trade Organization yang dihasilkan melalui negosiasi
multirateral dalamUruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO atau
World Trade Organization ini diharapkan mampu memperlancar arus
perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota rezim
tersebut.Namun, dalam rezim WTO atau World Trade Organization ini,
negara – negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena rezim ini
didominasi oleh negara – negara barat yang mampu merealisasikan interest
mereka dalam rezim ini.Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri
sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut (Ford 2002).
Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga
posisinya digantikan oleh WTO:
Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus
pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada
perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas
perdagangan.
GATT tidak
dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan
atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu.
Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT
tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota.
Akan
tetapi berdirinya WTO masih banyak perundingan yang dilakukan dalam
rangka memujudkan perjanjian multilateral berkaitan dengan perdagangan
antara lain:
1. Tahun 1947-1948: Untuk pertama kalinya sejak PD II berakhir,
negara-negara di dunia terutama dari Blok Barat menginginkan adanya
suatu bentuk sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan
komprehensif untuk membangun ekonomi dunia yang hancur akibat perang.
Pada tahun 1947 di Geneva diadakan perundingan perumusan perjanjian GATT
yang menetapkan penurunan 45.000 jenis tarif dengan nilai 10 miliar
dolar AS. Perundingan ini diikuti 23 negara.
2. 1949: Pada tahun 1949 di Kota Annecy berlangsung perundingan yang
lebih dikenal sebagai “Perundingan Annecy”. Dalam perundingan kali ini,
telah disepakati untuk meratifikasi 5000 jenis tarif yang diikuti 33
negara.
3. 1950-1951: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Torquay” yang
diselenggarakan di Kota Torquay dimana disepakati untuk meratifikasi
5,500 jenis tarif yang diikuti oleh 34 negara.
4. 1955-1956: Pada periode ini berlangsung “Perundingan Jenewa” yang
diselenggarakan di Kota Jenewa di mana disepakati untuk meratifikasi
sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 2,5 miliar dolar
AS, yang diikuti oleh 34 negara.
5. 1960-1961: Pada periode ini berlangsung Perundingan yang lebih
dikenal sebagai “Putaran Dillon”, yang diselenggarakan di Kota Jenewa,
putaran GATT kali ini diikuti oleh 45 negara yang menghasilkan
kesepakatan untuk meratifikasi 4.400 jenis tarif dengan nilai
perdagangan sejumlah 4,9 miliar dolar AS, yang diikuti oleh 34 negara.
6. 1964-1967: Putaran GATT kali ini lebih dikenal sebagai “Putaran
Kennedy”, yang diselenggarakan di Jenewa. Perundingan ini menyepakati
penurunan sejumlah jenis tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 40
miliar dolar AS dan kesepakatan anti-dumping yang diikuti 48 negara.
7. 1973-1979: Putaran GATT yang lebih dikenal sebagai “Putaran Tokyo”,
Jepang dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; ratifikasi
sejumlah jenis tarif dan non-tarif dengan nilai perdagangan sejumlah 155
miliar dolar AS. Perundingan kali ini diikuti oleh 99 negara.
8. 1986-1988: Dalam periode ini, negara-negara peserta mengadakan
perundingan di Jenewa berdasarkan mandat Deklarasi Punta Del Este.
Perundingan kali ini tidak hanya membahas peratifikasian tarif dan
non-tarif sejumlah komoditas, namun juga telah membahas bidang jasa
dalam perdagangan dunia. Di tahun 1980-an, Indonesia memainkan peranan
aktifnya dalam putaran GATT ini dengan ditariknya suatu konklusi bahwa
Indonesia harus mengubah haluan dari orientasi yang berbasis impor ke
arah strategi orientasi ekspor.
9. 1988: Pada bulan Desember tahun 1988 di Montreal, Kanada telah
diadakan pertemuan tingkat meneteri yang dikenal sebagai Mid-Term
Ministerial Meetinguntuk mereview kembali beberapa poin yang telah
dicapai dalam perundingan sebelumnya. Pada sidang tersebut telah dicapai
kemajuan pada 11 bidang kecuali pertanian. Dalam periode ini, Indonesia
mulai memainkan peranan aktifnya dalam Putaran Uruguay.
10. 1989: Perundingan ini diselenggarakan pada April 1989 untuk
meneruskan kembali kemaetan perundingan pada putaran sebelumnya yang
deadlock pada masalah pertanian.
11. 1990: Pada bulan Desember 1990 di Brussel, telah diselenggarakan
sidang tingkat menteri. Namun, kali ini tidak dihasilkan kesepakatan
apapun, karena Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara utama
menolak untuk meratitikasi bidang pertaniannya. Dengan demikian,
perundingan pada semua bidang mencapai deadlock.
12. 1991: Pada bulan Desember 1991, Direktorat Jenderal GATT selalu
ketua Trade Negotiations Committee (TNC) pada tingkat pejabat tinggi
telah menyerahkan Draft Final Act sebagai hasil akhir dari Uruguay
Round.
13. 1992-1993: Pada tanggal Januari 1992, TNC bersidang untuk menampung
reaksi negara-negara peserta dan menentukan langkah selanjutnya dalam
perundingan. Negara-negara perserta menyatakan kesulitannya untuk
menerapkan DFA pada berbagai bidang termasuk kewajiban menghapus subsidi
pertanian dan sistem proteksi atas beberapa jenis komoditas. Dalam
perundingan yang berlangsung di Jenewa ini, telah dilakukan pembahasan
antara lain; tariff dan non-tarif, perdagangan jasa, hak atas kekayaan
intelektual (hak cipta), komoditas tekstil, serta pertanian. Dalam
periode ini juga telah disepakati untuk membentuk kerangka kerja WTO
yang merupakan kelanjutan dari GATT. Pada tanggal 14 Desember 1993,
Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mulai membuka akses pasar
secara bertahap pada sector telekomunikasi, industri, angkutan laut,
turisme dan jasa keuangan.
14. 1994: Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh tercapai kesepakatan
mengenai hasil perundingan dari Putaran Uruguay sebagai suatu paket yang
ditandatangani oleh Negara peserta yang kemudian melahirkan WTO.
Sementara dalam tahun yang sama, Indonesia telah menyelesaikan prosedur
ratifikasi dengan DPR pada bulan Oktober 1994. Sehingga Indonesia siap
memberlakukan kewajiban perjanjian sesuai ketentuan dalam perjanjian
tersebut, antara lain; perlindungan terhadap hak atas kekayaan
intelektual, perdagangan jasa, turisme, telekomunikasi, dan beberapa
sektor lain.
Perubahan GATT menjadi WTO membawa fase baru.WTO menjadi suatu badan
yang mengurusi perdagangan dunia lebih kompleks dan efektif dibanding
GATT.WTO memberikan fokus yang besar bagi perdagangan seluruh sektor,
termasuk barang dan jasa. Selain itu WTO juga terdiri dari anggota yang
tetap , dimana keanggotaan suau negara melibatkan keputusan dari
parlemen negara bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan status WTO yang
sebagai organisasi internasional.Sebagai suatu organisasi internasional,
WTO memiliki aturan yang lebih jelas dan legal untuk dipatuhi.Hal ini
kemudian mendorong legitimasi sah yang perlu dipatuhi oleh negara-
negara anggota serta perdagangan internasional.
Dalam stuktur organisasinya, WTO terdiri dari direktur jendral, deputi
direktur jendral, dan sekretariat yang bertempat di Jenewa, Swiss (Peet,
2003). Aktivitas WTO sendiri, meliputi pengadaan pertemuan antara
perwakilan negara anggota dengan agenda meregulasi kembali sistem
perdagangan yang ada. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO
bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi
segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan
internasional. WTO disini memposisikan untuk bertindak netral dalam
mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam
negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan,
meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk
negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis
dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi
internasional lainnya. (Peet, 2003).Sikap netral yang dipegang oleh WTO,
membuat WTO sebagai suatu forum yang tidak memiliki kapasitas lebih
dalam memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi
negara-negara.
WTO
merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia dalam membicarakan
perdagangan internasional, dan juga memberikan bantuan internasional
untuk meningkatkan kemajuan perdagangan negara-negara anggotanya.
Hingga saat ini WTO beranggotakan 160 negara.Jumlah ini telah mewakili
sebanyak 97% perdagangan yang ada di dunia.Dua pertiga dari jumlah
keseluruhan negara anggota WTO terdiri dari negara berkembang.Status
negara berkembang sendiri ditentukkan oleh masing- masing negara bukan
oleh WTO ataupun negara anggota lainnya.Proporsi ini kemudian berkaitan
dengan sistem pemngutan suara yang diterapkan oleh WTO. WTO menerapkan
prinsip konsensus, melalui pemungutan suara atau voting. Sistem voting
yang ada didasrkan pada persentase keikutsertaan suatu negara dalam
perdagangan internasional. Sebagai contoh, adalah Amerika Serikat yang
memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil
perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang
dari 1% suara (Peet, 2003).
Dalam sejarah terbentuknya, WTO terus menerus mengundang pro dan kontra
dari dunia internasional. Banyak negara beranggapan bahwa WTO merupakan
organisasi bentukan barat yang setuju akan aliran perekonomian
kapitalis dan membawa negara berkembang tertindas dalam lingkaran
kapitalisme barat. Prinsip dasar WTO yang mendukung liberalisme
perdagangan dianggap para kaum kritik sebagai keberpihakan pada negara-
negara maju saja, dan tidak menghiraukan negara berkembang. Prinsip
keadilan perdagangan (fair-trade) dinilai hanya adil bagi negara maju
saja, tidak bagi negara miskin dan berkembang. Keadilan berlaku bagi
negara- negara yang menerapkan perekonomian bebas, seperti yang
tercantum dalam asas liberalisme ekonomi. Kritik lain juga menyebutkan
mengenai ketidaksesuaian aturan yang dikeluarkan oleh WTO dengan
kenyataan kondisi dunia internasional. Hal ini terjadi pada Meksiko,
dimana keuntungan yang diraih oleh negaranya tidak sebanyak perdagangan
yang dilakukan.Namun berbeda dengan Taiwan yang mendapatkan banyak
keuntungan walaupun sedikit melakukan kegiatan perdagangan dan tidak
mendapat investasi asing yang begitu besar.
Perubahan dalam rezim perdagangan internasional tersebut dapat
dipaahami melalui beberapa pendekatan.Pertama, pendekatan
tradisional.Pendekatan ini mengungkapkan bahwa rezim adalah alat negara
dan kekuatan kelas.Rezim tersebut dapat membantu negara dalam
merealisasikan kepentingan negara tersebut serta menjadi penengah dalam
fenomena rezim tersebut.Karena didasari oleh materi, hal ini menyebabkan
peran negara bermateri kuat tersebut lebih besar dibanding dengan
negara bermateri lemah.Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjelaskan
peran negara berkembang dalam memperkuat rezim perdagangan
internasional multirateral tersebut.Serta pendekatan ini mengabaikan
kenyataan bahwa semua terjadinya perubahan turut serta berpengaruh dalam
perubahan agen melalui tindakan dan struktur interaksi yang didasari
oleh manusia dan juga mereka sendiri sebagai aktor (Ford 2002).Kedua,
pendekatan strukturalis.Pendekatan ini berpendapat bahwa negara hegemon
memiliki kekuatan besar dalam perubahan rezim.Pendapat tersebut seperti
yang diungkapkan oleh neorealis dan neomarxis.Neorealis mengungkapkan
bahwa perubahan rezim merupakan alat bagi negara hegemon untuk mencapai
kepentingan nasional serta keuntungan ekonomi.Sementara neomarxis
mengungkapkan bahwa kapitalisme global sebagai pendukung rezim
perdagangan internasional. Negara hegemon berusaha mati-matian untuk
memperoleh kepentingan mereka, namun ia mengorbankan negara lain dengan
kedok kemaslahatan bersama atau universal. Inilah yang menjadi kelemahan
pendekatan strukturalis.Ketiga, pendekatan neoliberalisme.Pendekatan
ini mengungkapkan bahwa rezim sebagai alat negara dan sebagai ekspresi
dari kepentingan negara tersebut.Kepentingan negara yang dimaksud oleh
pendekatan neoliberalisme adalah kepentingan Negara-negara yang
menciptakan rezim tersebut. Sehingga rezim digunakan sebagai perwujudan
norma yang memfasilitasi kerja sama, menyediakan informasi, dan
lain-lain. Sehingga negara anggota rezim yang tidak termasuk dalam rezim
tersebut kurang terealisasikan kepentingan nasionalnya.
Jadi, rezim perdagangan internasional adalah sebuah distribusi ide
secara kolektif mengenai perdagangan internasional yang mengatur
mengenai perilaku dalam perdagangan bebas tersebut serta menjelaskan
mengenai peran negara sebagai aktor (Ford 2002). Perubahan dari rezim
perdagangan internasional dari GATT atau General Agreement on Tariffs
and Trade, menjadi WTO atau World Trade Organization menunjukkan bahwa
perdagangan internasional berkembang secara pesat sehingga distribusi
barang-barang ke berbagai negara dapat dilaksanakan dengan mudah.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menganalisa perubahan dalam
rezim internasional tersebut pasti memiliki kelemahan.Karena setiap
pendekatan dalam Hubungan Internasional bersifat pelengkap kekurangan
dari pendekatan-pendekatan yang sudah ada sebelumnya dengan sudut
pandang yang dimiliki oleh para pemikir pendekatan tersebut sehingga
menyebabkan keragaman dalam pendekatan dalam Hubungan Internasional.
Pada tahun 1995Sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay,
maka pada tanggal 1 Januari 1995 di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri
dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil
kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new
issues, antara lain; trade in services, intellectual property rights,
dan trade-related investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi
perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya
dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komiditas tekstil,
produk pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan
intelektual, bidang jasa dan investasi.
Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO,
yaitu:
(1) mendukung
pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah
dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut,
(2)
sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai
perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya,
termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan
Tingkat Menteri,
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan;
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan
(5)
menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank),
serta badan-badan yang berafiliasi.
Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya
untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral
Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs),
termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta
perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO
juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian
oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.
Dengan
demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO memiliki alat untuk
memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya.
Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai
terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran
perundingan perdagangan multilateral yakni Jenewa 1 Januari 1995,
Singapura, 9 - 13 Desember 1996, Jenewa, 18 - 20 Mei 1998, Seattle, 30
November - 3 Desember 1999, Doha, 9 - 13 November 2001, Cancun, 10 - 14
September 2003, Jenewa, 30 November - 2 Desember 2009, Jenewa, 15-17
Desember 2011 dimana putaran perundingan kali ini, yaitu Doha
Development Agenda (DDA) atau Doha Round prosesnya memakan waktu paling
lama, dan sampai saat ini belum berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay
yang dipandang paling luas cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu
sekitar 9 (sembilan) tahun.
Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak
1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan melalui
sejumlah ketentuan yang diperlukan.Pada waktu Putaran Kennedy,
disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan hambatan tariff.
Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah ketentuan GATT
dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade; Anti
Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan
Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama
kali dibahas dalam GATT.
Pada Putaran Uruguay 1994, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang
mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuan-persetujuan
perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights,
penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai
perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran
Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade
Organization (WTO).
Putaran
Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau
Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah
lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai
dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut
upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih
bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti
misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi dibidang
perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya.
Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia -
tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa
perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau
kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal
Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara
para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/
manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat
menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga
sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011.
Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses
perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak
dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena
meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai
overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang
pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking
hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis
ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah
negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya.
Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI
Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari
pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi
Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor
Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun
berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah
satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional.
Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama
perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay.
Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program
Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk
mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka
memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan
mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan
berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa
perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam
WTO.
Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki
berbagai peraturan nasional misalnya: dibidang HAKI, ketentuan nasional
yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya
praktek negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan
negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO,
menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata
niaga ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai
proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam
kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya
mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global
telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak
terbentuknya WTO.
Dasar
kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu
pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025
berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan
pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir
3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi
Pembangunan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar
negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas selama
periode tersebut, antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai
skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan
kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan
Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas
sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan
kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut
dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan
Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas
nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga
ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan
Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk
memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum
internasional.
Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack
Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral.
Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah
‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan bagian dari Renstra
Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat
penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra
dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA
yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih menggambarkan
peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan.
Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai
landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan
termasuk di forum WTO.Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN
merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini
menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan
bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim
negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya.
Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan
yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional
termasuk perundingan DDA.Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan
Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan
fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns
Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora
internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula dalam jejaring
kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha,
kalangan akademisi, LSM dan lain-lain.
Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas
terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal.
Namun
demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA
dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu
pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada
bulan Desember 2011, maka waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
tidaklah terlalu panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan
Strategi Utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan
upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya.
Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi dan
kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud.Dari sudut pandang tersebut,
tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada
saat perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun
posisi runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia -
meskipun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang
sebagai salah satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat
dari waktu kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang
meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan bebas
ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi tersebut
tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam
menyusun posisi runding.Posisi runding yang selama ini terasa defensif
hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif.
Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali
posisi Indonesia dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada
‘political level’.Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga
menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di
Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan DDA
hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin cepat
perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih banyak
masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis
pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay
Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General
Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153
negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau
wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi
sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang
dimulai tahun 2001.
Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus
oleh seluruh negara anggota.Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun
sekali.Kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh
General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi
dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan
mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.
Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan
batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle”
(MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota,
serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya
pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian
yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan
membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan,
mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada
saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan
nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota.
Terkait
dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk
melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan
multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan
memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat
memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi
pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses
pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA),
perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian
khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk
pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses
perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat
terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security,
livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju,
pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam
kebijakan pertanian mereka.
Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara
anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.Setelah
mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan
Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal
Februari 2007.Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri
dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan
menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan
intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa.Namun perundingan
Juli 2008 juga mengalami kegagalan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam
perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi dan
Tingkat Menteri, baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral)
maupun multilateral.Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan.Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum
dapat bergerak dari posisi awal mereka.
Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 Komite/Negotiating
Groups diharapkan mengeluarkan final texts atau teks modalitas yang akan
menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha, pada bulan
April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha
tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011, dan pada akhirnya,
seluruh Schedule dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai
(ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah
terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program
Kerja yang ada.
Pada bulan Desember 2011 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat
Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan
politik (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan
Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan
Politis (political guidance) yang disepakati bersama tersebut terkait
tema-tema:
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
•
Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Menyangkut pelaksanaan fungsi politik, KTM menghasilkan Chair’s
Concluding Statement yang berisi rangkuman atas isu-isu negosiasi yang
digarisbawahi Anggota (Bagian Kedua Statement) maupun Arahan Politis
(political guidance) yang disepakati bersama terkait tema-tema :
• Penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO
• Penguatan aktifitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan
Langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Posisi
Indonesia
Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade
Organization (WTO) dan telah meratifikasi PersetujuanPembentukan WTO
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam kaitan ini, untuk
memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi antara
lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang
sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam
merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaiandevelopment
objectives dari DDA.
Indonesia
juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan
utama Indonesia seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan
hidup, dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan
multilateral.
Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan
peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat
pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official
Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa
maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan
ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin.
Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang
memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat
ini bertambah menjadi 46 negara.
Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini
(draft modalitas pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi
perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan
ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah
dicapai diharapkan tidak akan merubah keseimbangan yang ada dan
backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.
Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya
menyelesaikan Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang
ada saat ini untuk kemudian membicarakan ambisi baru pasca Doha,
walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of
ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draft Modalitas tanggal 6
Desember 2008.
REFERENSI:
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Pakpahan, Normin S. dan Peter Mahmud (Penyusun). Pemikiran Ke Arah
Pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia. Cetakan Pertama.
Jakarta: ELLIPS Project, 1996.
Rajagukguk, Erman. Indonesiasi Saham. Cetakan Pertama. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Rusli, Hardijan. Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya. Cet. Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992.
Suryana, Agus. Negara Macan Asia, NAFTA & UNI EROPA. Cetakan Pertama. Jakarta: Harapan Baru Raya, 2005.
Business Guide To Uruguay Round. Cetakan Pertama. Geneva: International Trade Center UNCTAD/WTO (ITC), 1995.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 1 Tahun 1995 LN Nomor 13, TLN Nomor 3587.
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 LN Nomor 1, TLN No. 2818.
Undang-Undang Tentang Perubahan dan Tambahan Tentang Undang-Undang
Penanaman Modal Asing. UU No. 11 Tahun 1970 LN Nomor 46, TLN Nomor 2943.
Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change: GATT to
WTO”, International Studies Review, Vol. 4, No. 3, USA: Blackwell
Publishing.
Abbot, Roderick. 2007. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate publishing company.
Peet, Richard. 2003. “The World Trade Organization”, dalam Unholy
Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zed Books, pp. 146-199
Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia/Saat ini aktif pada Forum Kajian Pertanian Universitas Hasanuddin (FKP UNHAS) Makassar.