Tulisan Ini Pernah Dimuat di Koran Kampus IDENTITAS Edisi Akhir September 2014
“If I can not dance on it, that’s not my revolution”
“If I can not dance on it, that’s not my revolution”
(Emma Goldman)
Dalam
mitologi yunani Kronus (Chronos) Sang
Dewa Waktu akan memakan habis mereka yang menolak perubahan , perubahan adalah
hukum besi sejarah maka mereka yang menolak untuk berubah akan ditelan oleh
sejarah bahkan Filosof besar Jerman , G.W.F.
Hegel melihat kebenaran adalah sebuah aliran(perubahan) dimana sejarah
bergerak menurut hukum dialektika (Roh
Absolut Hegelian). Dalam skala Lembaga Kemahasiswaan pengkaderan merupakan
tafsir perubahan , pengkaderan haruslah berupa jawaban bagi aliran perubahan
zaman sehingga setiap insan dalam lembaga kemahasiswaan dapat menerjemahkan
setiap perubahan pada gerakan ruang dan waktu dalam masyarakat dan menghasilkan
para “Anak Zaman”. Kini Lembaga kemahasiswaan sepertinya tak mampu lagi
menjawab spirit zaman (Zetgeist) dan
terjebak dalam nihilisme dan
sekiranya seperti itu pengkaderan haruslah kita gugat .
Di era ini pengkaderan semakin
terfragmentasi dan perlahan menghilang nilai kesakralannya , pengkaderan
sekedar simbolitas-ritual rutin yang mirip menjadi ajang gagah-gagahan dan
audisi pencarian bakat , pengkaderan semakin serba tertutup dan terjebak dalam
romantisme masa lalu sehingga pengkaderan kian menemui kelokan dalam setiap
peristiwa dan waktu yang dilaluinya . Pengkaderan cenderung bergerak dalam
aliran yang melambat sehingga cenderung tertinggal oleh aliran perubahan maka Tatanan
dalam lembaga kemahasiswaanpun terguncang dan mengalami ancaman keruntuhan (Collapse) , beberapa medan kekuatan menyebabkan lembaga kemahasiswaan dan
pengkaderannya sedang tidak-stabil dan melambat yaitu , Pertama goncangan politik , dimana terbuka lebarnya kran demokrasi
menyebabkan elit-politik sangat mudah untuk bersimbiosis dengan agen lembaga
kemahasiswaan ditambah sistem semi-otoriter (senior-junior) yang berlaku dalam
lembaga kemahasiswaan menjadikannya sangat rentan untuk dipengaruhi oleh
kekuatan politik . Rantai panjang antara senior dan junior menjadi barang
dagangan bagi elit politik , kekuatan mahasiswa menjadi harga yang menggiurkan
untuk dimanfaatkan dan ditarik dalam pertarungan kepentingan , lembaga
kemahasiswaan yang dulunya mengutamakan politik nilai kini ditarik kedalam
politik pragmatis dan praktis yang sarat kepentingan pribadi . Kedua , Goncangan Ideologi , dimana
tumbuh suburnya lahan pemikiran pasca-reformasi ditambah akses pengetahuan yang
semakin luas di era digital membuat variasi pengetahuan dan ideologi dalam
lembaga kemahasiswaan menjadi sangat luas , Lembaga kemahasiswaan sebagai ruang
publik menjadi ajang pertarungan ideologi bagi para anggotanya yang bertarung
memperebutkan kekuatan dan pengaruh sehingga nilai dan ciri khas lembaga
dikesampingkan dan menjadi nilai pinggiran sedangkan nilai ideologi
diutamakan sehingga secara perlahan lembaga
kemahasiswaan menjadi tercemar dan kehilangan arah akibat nilai yang saling
bertabrakan. Ketiga , Goncangan
Romantisme sejarah , dimana lembaga kemahasiswaan terjebak pada aliran masa
lalu dimana mahasiswa menemukan kejayaannya dalam berbagai peristiwa , nilai-nilai
dan peristiwa masa lalu dijadikan tolak ukur bagi setiap arah persepsi dan
tindakan sehingga , hal tersebut justru menjadi boomerang bagi lembaga yang
seharusnya memberikan jawaban bagi perubahan , metode-metode lama yang
digunakan tidak mampu menjawab tantangan zaman sehingga benturan antara masa
lalu yang mengendap dan perubahan zaman yang terpampang didepan mata menjadi
sangat dilematis dan tak terhindarkan . Keempat
Goncangan Kapitalisme-Instrumental dimana Perkembangan kapitalisme dan
teknologi membuat lembaga kemahsiswaan terjebak dalam logika komoditas dan arus
teknologis , kampus seperti mall dan menjadi ajang pamer serta ajang peragaan
gaya hidup , mahasiswa terpaku pada arus modal dan teknologi dalam arus
perputaran yang sangat cepat , digitalisasi aspek kehidupan , perputaran
informasi , dan perkembangan teknologi yang terus menari dengan kecepatan
membuat pemaknaan terhadap realitas menjadi sangat dangkal . Realitas yang
seharusnya menjadi tempat belajar kini menjadi taman bermain dan
bersenang-senang bagi mahasiswa , yah realitas bukan lagi untuk dirubah tapi
untuk dinikmati bagi para agen kelembagaan. Kelima
Goncangan akademik dan kesempatan berlembaga , dimana kultur akademik dan
birokrasi yang berparadigma parsial-kuantitatif mengantarkan lembaga dalam
kondisi yang terjepit dan dalam pilihan yang dilematis antara akademik atau
lembaga , sehingga polarisasi keduanya tak terhindarkan lagi dan berubah
menjadi kutub yang sulit berdampingan dan beriringan. Tertutupnya sistem
pengkaderan menyebabkan kesempatan
berlembaga juga ikut berkurang sehingga potensi-potensi yang ada cenderung
tersembunyikan dan terpinggirkan. Goncangan-goncangan tersebut menghambat
lembaga kemahasiswaan dan pengkaderannya untuk menjadi mesin intelektual-ideal
sehingga lambat merespon realitas perubahan yang terjadi.
Kita
harus menggugat pengkaderan dan
merekonstruksinya kembali sehingga dengan ini pengkaderan akan menjadi
titik utama dalam pencapaian kebenaran
dan mengajukan interupsi terhadap realitas . Pengkaderan harusnya menghasilkan
hasrat kebenaran yaitu Logika, Pemberontakan , Universalitas dan Resiko
sehingga empat aspek yang harus ada dalam pengkaderan yaitu Aspek Logika dimana Pengkaderan selalu
mengandung rasionalitas atau pemikiran yang terus berubah dan berkembang sesuai
jamannya , Aspek Pemberontakan dimana
pengkaderan selalu merupakan bentuk perlawanan dan konfrontasi terhadap dunia
dan zaman yang dihadapinya , Aspek Universalitas dimana pengkaderan
selalu mengandung pemikiran yang universal dan holistik serta saling terkait
selain itu pengkaderan selalu menganggap semua manusia universal dan sederajat
, Aspek Resiko yaitu pengkaderan
harus melepaskan diri dari zona nyaman yang anti perubahan dengan mengambil
resiko dari perubahan dan mengambil keputusan yang mendukung sudut pandang
baru. Selain itu pengkaderan harus menghasilkan empat bentuk kebenaran yaitu
Revolusi , Hasrat , Penemuan , dan Kreasi dengan domain utamanya berupa Ilmu
pengetahuan , Seni , Cinta dan Politik dengan kesemuannya itu maka pengkaderan
bisa menunjukkan kekuatan utamanya dalam diri Lembaga mahasiswa sehingga
insan-insan lembaga kemahasiswaan bergerak melawan tantangan zaman .
Pengkaderan
adalah jiwa dari lembaga kemahasiswaan karena itu, pengkederan haruslah terus
berproses dan bergerak mengikuti dan melampaui aliran waktu . Tergerusnya
pengkaderan menyebabkan urgensi kelembagaan juga terpinggirkan sehingga lembaga
hanya mempunyai 2 pilihan yaitu Lembaga
harus merekonstruksi sistem pengkaderan yang ada atau tergerus oleh arus waktu dan runtuh (Collapse). Pendekatan yang dapat dipakai
dalam mengembalikan urgensi kelembagaan yaitu dengan membawa , Pertama
Emansipasi Pengetahuan dimana nilai dari suatu pengkaderan haruslah
merupakan pengetahuan yang bersifat emansipatoris atau membebaskan setiap insan
dari belenggu ketertindasan yaitu berciri rasionalitas (kreatif) dan kebebasan
(aktif) , sehingga insan yang terbentuk
adalah agen intelektual yang aktif dan kreatif. Kedua Interdisplin ilmu yang Holistik , dimana paradigma
pengkaderan haruslah merupakan interdisiplin ilmu dan interkonektivitas aspek
sehingga realitas yang dipahami merupakan realitas yang holistik dan menyeluruh
seperti paradigma sains baru (Paradigma Holistik - Fritjof Capra dan Mullah
Shadra) . Ketiga Intervensi Moralitas , dimana
pengkaderan haruslah menanamkan nilai-nilai dan mengintervensi moralitas ,
dengan mengupayakan terciptanya jagad egaliter sehingga tercipta ruang publik
yang tak memihak dan berciri
kemasyarakatan . Keempat Idealisme
politika dimana pengkaderan mengandung adalah pembelajaran politik yang
ideal sehingga tercipta iklim kelembagaan yang nyaman . Kelima Independensia orientasi dimana output pengkaderan adalah
independen dan tidak terjebak dengan berbagai hal apapun diluar dirinya
sehingga terlepas dari berbagai pertarungan , output pengkaderan harus
melepaskan semua terompah-terompah nya yang tidak berhubungan dengan orientasi
lembaga sehingga menjaga lembaga tetap dalam koridor keunikannya. Keenam Akademika-variatif dimana
pengkaderan haruslah bersifat akademik dan mendukung berbagai variasi dalam
anggotanya terutama dalam minat dan bakat , lembaga harus mendorong setiap
minat dan bakat anggotanya bukannya membatasi dalam setiap gerak individual.
Hal
utama yang harus segera dilakukan oleh lembaga kemahasiswaan sekarang ini
adalah membawa ranah pengkaderan kearah yang lebih dekat dengan realitas ,
pengkaderan harus berubah sehingga lembaga kemahasiswaan dapat melakukan
interupsi dan mengajukan perlambatan bagi realitas , bukan justru lembaga yang
terjebak dan melambat . Pengkaderan
sekarang ini membuat distingsi (jarak) dengan realitas disekitarnya sehingga
perubahan menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan dan amat sangat sulit .
Pengkaderan harus membawa insan mahasiswa menjadi sangat dekat dengan realitas
bahkan menjadi realitas itu sendiri (becoming
the reality) sehingga realitas dapat terwakili olehnya dengan modal
kritis-akademis yang dimiliki serta pendekatan dan aspek pengkaderan yang telah
dipaparkan maka pengkaderan sebagai roh lembaga kemahasiswaan bisa menjadi
spirit zaman dan menghasilkan para “Anak Zaman”. Metode mendekatkan diri dengan realitas
disekitarnya sekiranya bisa menjadi solusi terbaik bagi kehidupan mahasiswa
sekarang ini , dengan ikut serta menjadi realitas maka mahasiswa bekerja
bersama dengan realitas disekitarnya dan
menjadi penerjemah segala gagasan yang bersifat akademik maupun ideal bersama
dengan pengetahuan lokal-simbolik masyarakat sehingga kombinasi antara kultur
akademik dan kultur simbolik menjadi Senjata terdepan dalam meyongsong
tantangan zaman. Yah !! Mahasiswa harus turun ke dalam realitas dan turut serta
untuk mengubah dan mengintervensi realitas apapun bentuknya jika tidak maka kita
akan ditelan oleh Zaman dan runtuh . Bergeraklah mahasiswa !!! berdansa lah
bersama realitas dan ubahlah dia (revolusi).
dan MELAWAN BIROKRASI adalah salah satu dinamika dari berlembaga..
ReplyDelete