Tuesday, 16 September 2014

KOMPOL PATAHUDDIN : ANTARA KEKERASAN , NARASI KECIL , DAN KATALISATOR


Baru-baru ini kita dikejutkan oleh peristiwa dikepungnya rumah seorang Komisaris Polisi yang bernama Patahuddin oleh Ratusan warga di daerah Tinumbu Kel.Pannampu Kec.Tallo kota Makassar , yang disebabkan oleh aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum Perwira Polisi ini terhadap seorang warga yang bernama Mukhtar. Kompol Patahuddin marah karena  Mukhtar memarkir mobil didepan rumahnya sehingga Mukhtar dipukuli dan ditampar dan akhirnya  Mukhtar melaporkannya kepada warga sekitar . Ratusan Warga sekitar kemudian datang mengepung dan menyerang rumah Kompol Patahuddin dengan beringas. Pada akhirnya Polisi harus menembakkan gas air mata untuk mengevakuasi Kompol Patahuddin dari massa yang semakin liar. Kompol Patahuddin memang dikenal sangat ringan tangan dan kerap melakukan aksi kekerasan terhadap warga sekitar dimana pada akhirnya kekesalan warga memuncak dalam peristiwa tersebut.

Seorang Polisi memang punya sebuah “kuasa” untuk mengendalikan ketertiban masyarakat namun “Kuasa” itu harus berjalan dalam koridornya. Aparat kita tampaknya lebih banyak menggunakan “Kuasa” nya untuk konstruksi dan konsumsi pribadi yang kebanyakan melalui terror dan kekerasan. Kompol Patahuddin adalah sebuah representasi dari sebuah narasi besar dalam kehidupan bermasyarakat yaitu terror(ancaman) dan kekerasan . Sebagai Apparatus kenegaraan Kompol Patahuddin mungkin merasa bahwa status sosialnya itu lebih tinggi daripada masyarakat sekitarnya sehingga dia dengan congkak mengatur lalu lintas Hukum bagi masyarakat . Kompol Patahuddin adalah satu dari sekian banyak contoh aparat yang bertindak seakan-akan hukum ada dikedua tangannya. Hukum bukanlah milik seorang aparat , hukum adalah representasi dari  kedaulatan rakyat  apalagi seorang aparat adalah pelayan bagi berlangsungnya kedaulatan rakyat itu . Hukum tunduk pada tempat darimana dia berasal yaitu rakyat yang berdaulat , maka sangat aneh apabila ada oknum yang merasa memiliki hukum itu dan memperlakukan hukum itu seperti sebuah pisau untuk memotong siapa saja hanya karena statusnya sebagai aparat penegak hukum. Mental teladan aparat kita sudah tereduksi dan bertransformasi menjadi mental penjajah dimana aparat kita dengan seenaknya memperlakukan hukum sebagai alat yang mengabdi bagi kepentingan dirinya. Itulah cermin absolutisme aparat , pada yang absolut maka kekuasaan akan diperlakukan secara pribadi dan pada yang absolut, Kekuatan akan digunakan untuk menindas yang lemah.
“Kedaulatan rakyat”, adalah kata yang tepat untuk mewakili kekuatan besar yang membuat massa bergerak dan melakukan perlawanan terhadap perbuatan Kompol Patahuddin. People power yang luar biasa ini bergerak keluar dari dalam kesadaran masyarakat dan terwujud dalam gerakan untuk melawan yang “Berkuasa” . Dalam diri rakyat ada sebuah narasi kecil yaitu “Keinginan untuk lepas dari Sang Absolut-Otoriter” dan Narasi itu bergabung dengan narasi kecil yang sama dengan ratusan pemilik narasi kecil lain (Rakyat) sehingga berubah menjadi “Kesadaran emansipatoris” yaitu kesadaran untuk bebas dari belenggu penindasan . Perbuatan Kompol Patahuddin yang kerap melakukan tindakan kekerasan dan ancaman terhadap warga , menyisakan sebuah lubang yang dalam dalam kesadaran warga disekitarnya, lubang itupun terisi dengan berbagai macam derita dan cerita tentang ketertindasan. Cerita dan derita itu mengisi hari-hari warga dan saling merangkai satu sama lain dengan narasi kecil untuk lepas dari “Yang Berkuasa”. Jalinan cerita dan derita itu menjadi sebuah endapan yang sangat tebal dalam kesadaran diri warga , sampai pada akhirnya endapan itu sudah memenuhi kesadarannya sehingga endapan itu tumpah menjadi sebuah perlawanan.
Aksi = Reaksi , begitulah kira-kira bunyi salah satu hukum Fisika Newton , Tindakan Kompol Patahuddin yang mengancam dan represif terhadap warga sekitar membuat  warga sekitar juga melakukan hal yang sama terhadap kompol Patahuddin . Massa mengepung dan melakukan tindakan represif terhadap Kompol Patahuddin, Aset-aset yang lain seperti Rumah dan Mobil juga menjadi bulan-bulanan warga. Bagi warga , itu adalah harga yang harus dibayar mahal bagi terror dan kekerasan yang mereka alami sekian lama. Berbagai lapisan masyarakat terlarut dalam sebuah “Imagine Society” atau “Masyarakat Pikiran” dimana warga yang berbeda secara struktural dan Kultural bergabung dalam sebuah gerakan massa yang dipersatukan oleh sebuah endapan kesadaran dan berubah menjadi sebuah “People Power” atau “Kedaulatan Rakyat”.
Katalisator dalam Bidang Kimia adalah suatu zat yang mempercepat reaksi , dalam Narasi Kompol Patahuddin , Perbuatannya yang menganiaya Mukhtar hanya karena memarkir mobil didepan rumahnya menjadi Katalisator dari kesadaran warga sekitar. Bak gayung bersambut, dari laporan itu kesadaran warga bertransformasi menjadi sebuah “People Power”. Narasi kecil itu menyeruak ke permukaan dan menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar. Keberanian dan Kekuatan itu hadir melalui sebuah “pemikiran” yang telah melalui cerita yang sangat panjang , ibarat bara api yang menyala akibat sebuah letupan kecil. Mungkin Kompol Patahuddin tak mengira hal ini akan terjadi , tapi yakinlah apa yang ditanam maka itu pula lah yang akan kita tuai. Tindakan-tindakannya menjadi sebuah benih dalam kesadaran warga yang tumbuh dan berkembang selaras dengan perbuatan-perbuatannya yang lain dari waktu ke waktu sampai pada akhirnya benih itu tumbuh dan berbuah menjadi “Buah Perlawanan”.
Ini adalah sebuah pelajaran bagi para “Pemegang Kuasa” bahwa “kekuasaan” semata-mata mengabdi pada kepentingan rakyat . Domain dari sebuah “kekuasaan” adalah “kedaulatan rakyat” oleh karenanya kekuasaan harus kembali kepada rakyat pula. Seandainya Kompol Patahuddin menjadi seorang warga sekaligus perwira polisi yang semata-mata melayani kepentingan rakyat disekitarnya maka peristiwa ini tak akan terjadi. Aparat harus sadar bahwa rakyat membiayai pajak bukan untuk membuat aparat memperlakukannya seenaknnya tapi untuk melayaninya dengan baik .Aparat harus sadar bahwa kehidupannya ada karena ditunjang oleh biaya yang dikeluarkan oleh rakyat dimana Hak dan Kewajiban harus ditempatkan dalam koridornya masing-masing. Bagi rakyat , ini membuktikan bahwa mereka betul-betul punya sebuah “Power” untuk membuat para “Pemegang Kuasa” ingat bahwa ada kekuatan besar didalam sana yang siap keluar kapan saja ketika “Kekuasaanya” tidak digunakan sesuai dengan semestinya. Hanya dengan sedikit dorongan dan katalisasi maka semuanya akan menjadi mungkin.


0 comments:

Post a Comment